Semangat Kerja Tunanetra Mengais Rejeki

Meskipun telah beberapa kali menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja, Yadi Hermayadi (35), penyandang cacat tunanetra tidak pernah berputus asa untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Saat ini, Yadi warga Kampung Taraju Kabupaten Tasikmalaya bekerja di Surabaya sebagai penjual aksesori perlengkapan wanita keliling. Ia tinggal di kontrakan rumah petak di kawasan Pasar Turi Surabaya bersama beberapa rekannya, kedua anak dan istrinya yang tidak bekerja ditinggalkannya di kampung halaman.


"Sudah dua bulan saya tidak bertemu dengan keluarga saya. Penjualan lagi sepi sehingga saya belum punya biaya untuk pulang ke kampung halaman, " katanya kepada The Jakarta Post.

Hari itu, 'dewi fortuna' belumlah memihak Yadi. Dari pagi hingga siang hari belum satupun dagangan itu laku terjual. Padahal ia telah berjalan kurang lebih 20 kilometer sambil membawa beban dagangannya sekitar 10 kilogrammenyusuri kota Surabaya yang tengah disengat panasnya terik mentari.

Namun, ia masih saja bersyukur karena siang itu ia bisa membeli nasi bungkus setelah tiga hari lamanya ia tidak makan. Penghasilannya memang telah dikirimkan ke keluarganya melalui jasa pos dan giro.

"Sudah tiga hari saya hanya makan buah nangka yang belum matang yang saya petik dari pekarangan rumah milik salah satu warga di daerah Surabaya, " katanya sambil melahap nasi bungkus di pinggir jalan depan Markas Kepolisian Daerah Jawa Timur di Jl Ahmad Yadi Surabaya.

Sekitar tahun 1995-an, Yadi pernah bekerja di salah satu perusahaan sepatu nasional di Tangerang sebagai cleaning service dengan upah sebesar Rp 500 ribu per bulan. Namun ia di PHK lantaran krisis keuangan di perusahaan itu. Tahun 1998, ia diterima di industri sepatu di Cibaduyut Bandung Jawa Barat. Di perusahaan ini ia mengalami nasib serupa.

Setelah tidak mempunyai pekerjaan tetap, ia mencoba menjadi pemulung barang bekas sambil mencoba melamar pekerjaan di perusahaan lain. Mata sebelah kanan yang buta akibat kesalahan medis waktu kecil menjadi kendala utama mencari pekerjaan.

"Saya sempat beberapa kali ditolak bekerja di beberapa perusahaan karena kondisi tubuh dan tidak mempunyai ijasah sekolah dasar. Saya pernah berpikir menjadi tenaga kerja Indonesia di negara asing, tetapi saya tidak punya modal, " katanya.

Yadi memang tidak pernah sampai lulus Sekolah Dasar. Kondisi perekonomian keluarga dan juga kondisi fisik tubuhnya menjadi alasan utamanya.

Sampai akhirnya, sekitar tahun 2000-an, ia pun diajak oleh salah satu rekan untuk menjual perlengkapan aksesori wanita seperti jepit rambut, ikat rambut dan lain-lain di Surabaya.



Dalam sebulan, Yadi biasanya mendapatkan penghasilan sebesar Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu per bulan. Uang ini didapatkannya dari komisi dari total penjualan yang diberikan oleh makelar pemilik modal usaha beserta dengan peralatan penjualan.

"Tetapi khusus bulan ini penghasilan saya hanya Rp 200 ribu karena memang penjualannya sepi, " katanya.

Untuk menambah penghasilan, Yadi pun menjadi pemulung barang bekas. Pekerjaan ini dilakukannya sambil berjualan. Pendapatannya sebagai pemulung rata-rata hanya Rp 100 ribu per bulannya.

Setelah menghabiskan makanan bungkus, ia pun bergegas pergi sambil membawa dagangannya.

"Maaf, saya harus bekerja lagi demi anak dan istri saya. Doakan saja nasib ini berubah, " katanya. (INDRA HARSAPUTRA)

Read More......

Orang Miskin Minum Air Tercemar

Masyarakat miskin di perkotaan terpaksa mengkonsumsi air tercemar karena kesulitan mendapatkan air bersih. Penderitaan mereka itu terus berlanjut sampai tahun 2025 ketika Surabaya diprediksikan akan mengalami defisit air bersih.

Jadi orang miskin di Indonesia benar-benar ngenes !

Mahmud (40), tinggal di rumah semi permanen bantaran sungai Kali Surabaya bersama istri dan dua orang anaknya selama puluhan tahun lamanya. Ia bukanlah penduduk asli Surabaya, melainkan seorang pendatang dari desa yang tinggal tanpa identitas kependudukan resmi.

Pekerjaannya pun tidaklah tetap. Kadangkala ia bekerja sebagai pemulung sampah, bahkan sesekali ia menjadi kuli bangunan. Penghasilannya pun hanya Rp 10.000,- per harinya. Sedangkan istrinya tidak bekerja.

Di Surabaya, ia sangat bergantung pada air sungai Kali Surabaya, yang akhir-akhir ini mendapatkan perhatian dari semua pihak setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa haram mengkonsumsi Kali Surabaya lantaran telah tercemar, baik itu limbah industri, rumah tangga, maupun bangkai sisa satwa peliharaan.

Kali Surabaya merupakan sungai lintas Kota /kabupaten yang melalui wilayah 4 kota/kabupaten Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Sungai sepanjang kurang lebih 41 Km ini memiliki 3 anak sungai, Kali Marmoyo, Kali Tengah dan Kali Pelayaran. Kali Surabaya memiliki peran penting bagi Surabaya karena 95% bahan baku PDAM Kota Surabaya diambil dari Kali Surabaya


Berdasarkan Kajian Menteri Pekerjaan umum dan Perum Jasa Tirta pada tahun 1999 Surabaya dalam River Pollution Control Action Plan Study menunjukkan Selain limbah industri Kali Surabaya harus menampung beban pencemaran domestik di sepanjang kali Surabaya sebesar 75,5 ton/hari, dengan rincian Mojokerto 14,84 ton/hari, Sidoarjo 26,00 ton/hari, Gresik 0,93 ton/hari dan Surabaya 33,73 ton/hari.

Akibat adanya limbah itu, beberapa riset menyimpulkan bahwa Kali Surabaya sudah tercemar E-Coli. Salah satunya, penelitian Kementrian Lingkungan Hidup tentang pemantauan Terpadu Kualitas Air Sungai di Jawa Timur 2005 menunjukkan bahwa Bakteri E-Coli di dua daerah sepanjang Kali Surabaya (Karang Pilang dan Ngagel/jagir mencapai 64000 sel bakteri/100 ml , sedangkan di intake Kali Pelayaran E-Coli di air mencapai 20000 sel bakteri/100 ml).

Sedangkan peneliti salah satu NGO Lingkungan, Dhani Arnanta menunjukkan bahwa kandungan e coli di badan air Kali Surabaya sebanyak 11. milyar – 1600. milyar sel bakteri/100 ml contoh air.

Padahal sebagai bahan baku air minum jumlah E-Coli dalam air tidak boleh melebihi 1000 sel bakteri/100 ml contoh air menurut PP 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.

Tingginya tingkat pencemaran di Kali Surabaya memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal di sepanjang Bantaran Kali Mas, Data RSUD Dr Soetomo menyebutkan 2-4% penduduk yang terdiri dari anak-anak (0 – 18 tahun) mengidap kanker, 59% adalah kanker leukimia, Neuroblastoma (Kanker syaraf), Limfoma (Kanker kelenjar getah Bening), dan Tumor Wilms (Kanker ginjal).

Tetapi, Mahmud tidak peduli dengan semua itu. Di sungai inilah, Mahmud tidak hanya mandi, melainkan air sungai juga dipakai untuk memasak dan minum.

"Biarpun tercemar saya tetap akan tinggal disini. Kalau saya beli air bersih seharga Rp 5 ribu per hari saya tidak mampu karena penghasilan yang minim, " katanya.

Mahmud, bukanlah satu-satunya warga miskin di Surabaya yang sulit mendapatkan air bersih karena kondisi ekonomi. Ada ratusan warga miskin lainnya yang belum mendapatkan air bersih juga masalah serupa.

Di Jawa Timur, berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, menyatakan hanya 2,6 persen dari jumlah penduduk sebesar 29,2 juta jiwa yang memperoleh air bersih dari jaringan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).

Dari jumlah tersebut, air bersih hanya didapatkan oleh mayoritas warga di perkotaan seperti Malang, Surabaya Sidoarjo, Mojokerto dan beberapa lainnya. Meskipun demikian, bukan berarti semua warga yang tinggal di perkotaan mendapatkan air bersih.

Sedangkan khusus di daerah yang tidak terjangkau layanan PDAM itu, seperti di Blitar, Ngawi, Gresik, Kediri, Kabupaten Malang dan beberapa daerah lainnya, masyarakat mendapatkan air bersih dari sumur galian, air sungai dan mata air.

Di daerah tertentu, misalnya di Kecamatan Kedung Kandang Kabupaten Malang, sebelum dibangun sumur air oleh Institut Tehnologi 10 November Surabaya (ITS), warga harus mengeluarkan uang untuk membeli air bersih dengan harga Rp 90 ribu sampai Rp 100 ribu per bulannya.

Warga di Kedung Kandang itu tidak mendapatkan air bersih selama bertahun-tahun karena ketidakmampuan tehnis untuk melakukan pengeboran sumur. Namun setelah dibangun instalasi air sumur oleh ITS tahun 2007, kini warga bisa mendapatkan air bersih dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp 20 ribu per bulannya.

Demikian pula di beberapa tempat lainnya, seperti di Kecamatan Nglegok Blitar, ratusan penduduk di beberapa desa areal perkebunan tersebut juga telah menikmati air bersih dengan biaya murah setelah dibangun sarana air sumur. Sebelumnya warga di wilayah tersebut harus berjalan ratusan kilometer untuk mendapatkan air bersih.

Berdasarkan data dari PDAM, pada tahun 2005, dengan jumlah penduduk di Surabaya sebesar lebih dari 2,6 juta jiwa, rasio cakupan pelayanan air bersih mencapai 68 persen. Itu atinya sisa rasio penduduk, hingga saat ini belumlah mendapatkan pelayanan air bersih.

Ada beberapa faktor yang membuat mereka belum terlayani memperoleh air bersih PDAM. Selain karena faktor tidak sebandingnya jumlah pertambahan penduduk, baik itu karena tingginya angka kelahiran dan urbanisasi, dengan jumlah sarana dan prasarana penyaluran air minum, misalnya pipanisasi.

Ketidakmampuan warga miskin untuk membeli air bersih juga menjadi penyebab utama. Faktor lain yang juga dominan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan lingkungan yang sehat.

Kepala Unit Pengkajian Pengembangan Potensi Daerah ITS Surabaya, Agnes Tuti Rumiati mengatakan berdasarkan survei pihak yang belum terlayani air bersih itu memang mayoritas berasal dari masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya pemasangan air bersih dan biaya bulanan berlangganan.

Masyarakat miskin di perkotaan, kata Agnes, harus membayar harga yang mahal untuk mendapatkan air bersih dibandingkan dengan warga lainnya.

"Dengan pendapatan yang tidak menentu, mereka memilih mengeluarkan uang Rp 5000,- per hari untuk membeli air, daripada berlangganan air bersih dari PDAM yang tarifnya Rp 100.000,- per bulan, " katanya kepada The Jakarta Post.

Untuk meringankan beban masyarakat miskin memperoleh air bersih, World Bank memberikan bantuan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan air bersih dengan biaya murah.

Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Delta Tirta Sidoarjo, Abdul Basit Lao mengatakan untuk tahap awal bantuan itu akan diberikan kepada 200 warga miskin di kelurahan Lemah Putro Sidoarjo.

"Warga miskin di tempat itu akan hanya membayar tarif untuk air bersih sebesar Rp 25 ribu atau lebih murah dibandingkan dengan tarif normal sebesar Rp 100 ribu per bulannya, " katanya.

Tarif baru PDAM bagi masyarakat miskin itu, kata Abdul, merupakan kerjasama antara World Bank dengan PDAM, dimana World Bank menyiapkan jaringan pipa dan segala infrastruktur sedangkan PDAM yang mensuplai air bersih tersebut.

Anggota Badan Pendukung Pengembangan Sistem Air Minum Departemen Pekerjaan Umum Budi Sutjahjo mengatakan untuk di daerah pedesaan, pemerintah pada tahun 2009 mentargetkan akan menambah jaringan pipanisasi air minum, sehingga 27,3 juta jiwa masyarakat di pedesaan di Indonesia dapat memperoleh air bersih. Sampai saat ini, hanya 7 juta jiwa saja masyarakat di desa yang telah menikmati air bersih.

Selain itu, pemerintah juga akan menambah jumlah pemakai di perkotaan yang saat ini mencapai 38,7 juta jiwa menjadi 45,8 juta jiwa pada tahun 2009. Sehingga secara nasional pada tahun 2009, sekitar 73,5 juta jiwa dapat memperoleh layanan air bersih.

Akan tetapi muncul tantangan baru dimana tahun 2025 mendatang, seiring dengan pesatnya laju pertambahan penduduk di Surabaya warga miskin semakin sulit mendapatkan air minum. Mereka akan kembali minum air beracun seperti yang dilakukannya saat ini.

Mengapa ?

Perum Jasa Tirta memprediksi pada tahun 2025, Surabaya akan mengalami defisit air bersih. Itu artinya, beban masyarakat miskin untuk memperoleh air bersih akan semakin mahal.

Pada tahun tersebut, dimana laju pertambahan penduduk di ketiga daerah tersebut akan bertambah menjadi lebih dari 3,04 juta jiwa dari 2,6 juta jiwa, kebutuhan air bersih mencapai 47,05 meter kubik per detik. Padahal ketersediaan air bersih hanya mencapai 39,62 meter kubik per detik.

Dengan demikian di tahun itu akan terjadi defisit air bersih sebesar 7,43 meter kubik per detik. Sampai tahun 2010, dengan ketersediaan air 39,62 meter kubik per detik, kebutuhan air bersih di Surabaya dan sekitarnya mencapai 35,41 meter kubik per detik.

Itu pun belum lagi ditambah deretan panjang kasus pencemaran sungai di Indonesia, yang menurut data dari Departemen Pekerjaan Umum, 76,2 persen dari 52 sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi telah tercemar. 11 sungai diantaranya tercemar berat.

Direktur Ecoton, salah satu NGO Lingkungan Hidup, Prigi Arisandi mengatakan selain masalah penegakan hukum terhadap kasus pencemaran sungai, juga diperlukan dukungan dari semua pihak, khususnya MUI untuk memberikan fatwa haram terhadap konsumsi air sungai yang tercemar.

"Fatwa itu merupakan bentuk dukungan moral untuk mengubah kebiasaan dan menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya sungai sebagai sumber kehidupan, " katanya.

Sementara itu, pengamat sanitasi dan air bersih ITS Surabaya Eddy Soedjono mengatakan pihak PDAM perlu melakukan perbaikan manajemen, khsususnya soal pengelolaan air bersih kepada masyarakat. Dengan pengelolaan yang baik maka tingkat kebocoran pipa yang mencapai 40 persen dapat ditekan. Selain itu, masalah pencurian air juga harus menjadi perhatian.

"Seharusnya dengan kapasitas PDAM di Surabaya sebesar 7.820 liter per detik bisa mencukupi 2,6 juta penduduk di Surabaya. Bila dihitung maka rata-rata setiap penduduk bisa menikmati 255 liter per hari, " katanya.

Sebagai perbandingan dengan Amerika Serikat (AS), negara tropis lembab dengan kebiasaan belum tentu mandi dua kali saja konsumsi air bersih penduduknya sekitar 450liter per hari. Sedangkan di Surabaya, dengan konsumsi yang lebih kecil dibandingkan dengan AS harus dipakai mandi terkadang lebih dari 3 kali sehari. (INDRA HARSAPUTRA/The Jakarta Post)

Read More......

Masker Korban Mudflow





Petugas medis memeriksa kondisi kesehatan warga desa Siring Barat Kecamatan Porong Sidoarjo yang banyak mengeluhkan gangguan pernafasan pasca keluarnya semburan gas metana dipemukiman penduduk sebagai dampak langsung dari semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo, Senin (14/4). Selain karena gas metana, menurut tim medis, masyarakat yang mengalami gangguan pernafasan juga karena debu sehingga warga disarankan menggunakan masker. (INDRA HARSAPUTRA)

Read More......

Say Love With Flowers











Selain aktif menjadi jurnalis, penulis juga menggemari jenis tanaman hias Euforbia. Tanaman ini menjadi pengusir stress, penggali inspirasi sambil mendatangkan uang. Satu harga tanaman ini dijual dengan harga Rp 10 ribu sampai Rp 50 ribu per batang. (Foto-Foto : Indra Harsaputra)

Read More......

"Sang Terpilih" keturunan Guangdong



Indra Harsaputra
The Jakarta Post/Surabaya


Tam Chen Siong (36), warga keturunan Tionghoa yang juga dikenal bernama Kanjeng Raden Tumenggung Hartonodiningrat bukan saja berhasil melestarikan keris sebagai satu dari tujuh keajaiban dunia milik bangsa Indonesia, tetapi juga berhasil menyakinkan keluarganya akan pentingnya pekerjaan yang digelutinya.

Tam Chen Siong dilahirkan di keluarga seorang pengusaha forwading di Surabaya. Tam Hwa Seng dan Phun Djoei Hing, ayah dan ibu Tam Chen Siong mengharapkan agar anak kedua dari dua bersaudara bisa meneruskan usaha ekspedisi forwarding (pengangkutan barang dan peti kemas) yang dirintis oleh keluarganya selama bertahun-tahun.

Paling tidak, jika keinginan yang satu itu meleset, kedua orang tuanya bercita-cita agar kelak Tam Chen Siong bisa menjadi seperti kekeknya yang arsitektur dan pernah mengerjakan sejumlah proyek di Surabaya, seperti jembatan, Taman Makam Pahlawan serta perabot di kantor Walikota.

Tanpa diduga oleh kedua orang tuanya yang berdarah asal Guangdong China Tam Chen Siong yang lulusan Tehnik Mesin Universitas Kristen Petra Surabaya tahun 1992 itu memilih berprofesi sebagai seorang empu keris.

Sedangkan kakaknya, perempuannya, Tam Li Li juga memilih bekerja sebagai apoteker ketimbang menjadi pengusaha seperti orang tuanya.

"Awalnya, keluarga sangat menentang profesi saya itu karena pekerjaan itu tidak bisa mendatangkan uang banyak. Mereka selalu berkata masa depan saya akan suram, " katanya kepada The Jakarta Post.

Tam Chen Siong memang dikenal terampil membuat senjata tajam. Sejak berumur 10 tahun, Tam Chen Siong yang lahir dan tumbuh besar di Surabaya telah akrab dengan senjata tajam. Di umur yang masih anak-anak itu, ia sudah pandai membuat pisau baja dengan peralatan bengkel, yang biasanya digunakan untuk memperbaiki atau men-service kendaraan roda empat milik usaha angkutan Tam Hwa Seng, ayahnya.

Keris, dikenal Tam Chen Siong dari sesepuh empu asal Surabaya, Kanjeng Raden Haryo Tumenggung Sukoyo Hadinagoro. Ia merupakan mantan pegawai Bank Indonesia yang minta pensiun dini untuk mendalami ilmu keris. Saat ini, ia telah mendidik puluhan murid hingga menjadi empu.

Melalui salah satu rekan ayah, Tam Chen Siong dikenalkan kepada Sukoyo. Sejak itulah ia langsung tertarik dengan keris. Namun, ketertarikannya bukan berarti ia diterima sebagai murid oleh Sukoyo. Sebab, menurut gurunya itu, pekerjaan seorang empu itu sulit dan lebih dikarenakan oleh panggilan alam, layaknya seorang biarawan gereja Katolik ataupun biksu.

"Setiap pulang kuliah, saya datang ke rumah Sukoyo untuk melihat cara membuat keris. Saya tidak pernah absen untuk menunggu Sukoyo menerpa keris. Saya sampai lupa makan dan minum," katanya.

Berkat kegigihannya yang kuat untuk mempelajari keris, akhirnya Sukoyo menerima Tam Chen Siong sebagai muridnya. Ia tidak hanya belajar membuat keris saja, tetapi juga ikut dalam ritual seperti lazimnya dilakukan oleh empu.

Keseriusan Tam Chen Siong belajar keris kembali diuji. Sebab ia harus menjalani sejumlah tantangan menjadi seorang empu yang berat. Ia harus diuji kesabaran dan ketelatenan dalam menempa keris agar mempunyai nilai seni. Berkali-kali ia gagal membuat keris seperti yang diajarkan oleh gurunya.

Namun, ia pantang menyerah.

Tantangan lainnya, ia harus menjalani puasa dan menjalani pantangan khusus bagi seorang empu, yaitu dilarang mengkonsumsi makanan yang tidak segar (tersimpan sehari).

"Waktu itu saya hampir putus asa. Saya tidak kuat menjalani semua itu, namun akhirnya atas dorongan kuat dari Sukoyo, saya pun berhasil menjalani semua tantangan itu, " katanya.

Tam Chen Siong pun telah bisa membuat keris, tidak hanya pandai membuat lekuk dan aksesori keris, tetapi ia pun menjiwai dalam membuat keris.

"Banyak orang yang salah menilai keris, namun bagi saya keris itu merupakan senjata unik. Ia bukanlah dibuat untuk membunuh orang, tetapi ia bisa membunuh, " katanya.

Tam Chen Siong pun berniat memperdalam ilmunya di Solo. Pada tahun 1998, ia memutuskan untuk berguru di beberapa empu senior seperti Empu Subandi, Empu Daliman, Empu Suyanto dan Empu Pausan. Di tahun yang sama pula ia bertemu dengan almarhum Sinuhun PB XII.

Hingga akhirnya, tiga tahun kemudian, Tam Chen Siong pun diangkat resmi menjadi abdi dalem keraton Solo dengan gelar Raden Tumenggung. Saat pengangkatannya itu sempat terjadi kontraversi di kalangan keraton Solo, sebab saat diangkat usia belum mencapai 40 tahun.

"Jadi saat diangkat, saya merupakan satu-satunya empu termuda di Indonesia dari kerajaan keraton Solo. Saya sangat salut terhadap Sinuhun karena etnis keturunan Tionghoa bisa diterima dengan baik olehnya, " katanya.

Ini membuktikan bahwa keris bukan saja menjadi bagian masyarakat Jawa, melainkan juga dapat dipelajari dan dimiliki oleh siapa saja, termasuk etnis non pribumi.

"Bahkan, sebelum beliau mangkat, gelar saya dinaikkan menjadi Kanjeng Raden Tumenggung. Saat itu saya berjanji di dalam hati akan terus melestarikan keris sebagai budaya bangsa Indonesia, " katanya.

Kiprah Tam Chen Siong tidak hanya membuat keris dan mengenalkannya kepada generasi muda melalui pertukaran ketrampilan dengan mahasiswa di Universitas Petra Surabaya. Ia bersama dengan para empu lainnya pernah terlibat 'Perang' dengan Malaysia dan Singapura yang ingin mengklaim bahwa keris menjadi milik negara tersebut.

Begini ceritanya, sekitar tahun 2006, beberapa seniman asal Malaysia dan Singapura berlomba-lomba datang ke Indonesia untuk mengumpulkan data soal perkerisan.

"Saya tahu bahwa kedatangan mereka itu bukanlah bermaksud baik, mereka hendak mencuri data untuk memperkuat klaimmya bahwa keris bukanlah dari Indonesia melainkan dari khasanah budaya kedua negara, " katanya.

Ia bersama dengan beberapa empu lainnya pun marah dengan cara yang dilakukan oleh negara tetangga yang berusaha mencuri warisan budaya Indonesia. Saat itu, Tam Chen Siong bersama dengan seniman keris lainnya meminta agar pemerintah mempertahankan seni budaya keris Indonesia.

"Beruntunglah akhirnya Unesco memutuskan bahwa keris merupakan milik bangsa Indonesia. Saat itulah saya bersama dengan seniman lainnya mendeklarasikan Sekertariat Nasional Perkerisan Indonesia sebagai wadah para empu untuk berjuang melestarikan keris Indonesia, " katanya.

25 Desember 2006, keris masuk ke dalam satu dari tujuh keajaiban dunia. Maret 2007, di Yogyakarta Tam Chen Siong bersama dengan empu lainnya mendeklarasikan Sekertariat Nasional Perkerisan Indonesia, sebagai wadah organisasi empu dan pecinta keris di Indonesia.

Perjuangan Tam Chen Siong mempertahankan keris sebagai milik Indonesia itulah membuat kedua orang tuanya terenyuh. Mereka pun bangga dengan apa yang dikerjakan Tam Chen Siong.

"Kesempatan itulah membuat saya kembali menyakinkan kepada keluarga bahwa pekerjaan seorang empu bukanlah pekerjaan yang sia-sia, " katanya.

Keluarga pun akhirnya menerima alasan Tam Chen Siong, bahkan kini mereka pun mendukung pekerjaannya.

"Bagi saya pekerjaan ini sangat unik. Saya bangga bisa belajar banyak tradisi budaya Indonesia yang nyaris punah sekaligus mempelajari spiritual Jawa yang sangat menarik dan sarat filosofis, " katanya.

"Di sini saya telah menemukan kebahagiaan, ketentraman dan penghasilan yang cukup bagus, " katanya.

Keris buatan Tam Chen Siong dijual dengan harga Rp 2,5 juta sampai ratusan juta rupiah. Beberapa pejabat dan tokoh di Indonesia, antara lain mantan Wakil Presiden Hamzah Haz dan mantan Kapolda Bali I Made Mangku Pastika pernah membeli keris buatan Tam Chen Siong sebagai pemberi kewibawaan.

Read More......

Kesaksian Warga Alas Tlogo Untungkan Marinir



Sidang kasus penembakan brutal marinir di desa Alas Tlogo Pasuruan Jawa Timur di Pengadilan Militer III/12 Surabaya terus berlanjut dengan materi mendengarkan kesaksian dari korban penembakan. Kuasa hukum menilai kesaksian warga itu melemahkan dakwaan terhadap marinir.

Sampai saat ini dari 33 saksi persidangan, enam saksi diantaranya telah disidangkan. Mereka dicerca puluhan pertanyaan yang menyudutkan oleh ketua tim kuasa hukum marinir Ruhut Situmpul tanpa ada pernyataan keberatan atas penyudutan saksi oleh oditur militer yang diketuai oleh Mayor Achmad Agung Iswanto.

Dengan kepolosannya, Jumatun (54), warga desa AlasTlogo yang menjadi saksi penembakan marinir di awal persidangan, Rabu (2/4) berkata; "Anda Ruhut yang menjadi artis di sejumlah sinetron itu kan. Saya sering melihat anda di tipi (televisi,-red), "

Awalnya, Jumatun mengaku tidak takut dan gentar saat menjadi saksi di pengadilan meskipun sebelumnya ia belum pernah menjadi saksi di pengadilan. Namun setelah 4 jam lamanya bersaksi, wajahnya berubah menjadi pucat pasi.

"Anda mengaku mengalami gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Bagaimana anda bisa melihat seorang marinir yang mengarahkan SS-1 langsung di kerumunan orang apalagi saat itu anda berada di jarak 200 meter ?, " kata Ruhut Sitompul.

Pertanyaan itu pun diulang-ulang oleh kuasa hukum lainnya. Jumatun tetap bersikukuh dengan kesaksiannya.

"Anda (Ruhut) jangan bertanya maju mundur seperti gergaji sehingga membingungkan saya. Saat ini perut saya sedang lapar dan kepala saya pusing. Memang benar Ruhut itu cocok jadi pengacara, " kata Jumatun dengan mata memerah.

Jumatun mengaku sebelum terjadi penembakan sekitar 15 warga berkumpul di depan rumahnya untuk merencanakan protes mereka terhadap penggusuran rumahnya oleh marinir. Namun Jumatun meminta warga pulang karena berita itu tidak benar, dan Jumatun pergi ke pasar untuk membeli celurit. Sebelum sampai di pasar, Jumatun mendengar suara tembakan. Ia pun memutuskan untuk kembali di rumahnya.

"Meskipun penglihatan saya kurang jelas dan posisi saya berada di jarak 200 meter dan terhalang oleh bangunan dan pohon, tetapi benar saya seorang marinir yang menodongkan senjatanya ke arah kerumunan secara langsung, " katanya.

Jumatun juga merupakan ayah kandung dari satu dari empat korban meninggal, Dewi Khotidjah yang meninggal dunia akibat terkena peluru saat berada di dalam rumah.

Jumatun tetap mengklaim menyaksikan langsung salah seorang marinir yang menembakkan langsung di depan warga yang saat itu sedang berkerumun. Ia juga bersaksi sempat ditodong marinir senjata SSK-1 sebelum ia melihat kondisi Dewi Khotidjah yang telah bersimpuh darah.

Kasari (49), saksi lainnya yang juga mertua dari satu dari delapan korban luka Rohman, juga sempat melihat aksi penembakan marinir. Ia bersaksi bahwa saat kejadian ia berada di jarak 2,5 meter dari marinir dan melihat senjata SS-1 yang ditembakkan langsung ke arah warga.

Kuasa Hukum menilai kedua kesaksian itu bohong. Jumatun dan Kasari yang sama-sama menderita ganguan penglihatan dinilai telah memberikan kesaksian yang berbelit-belit dan tidak konsiten.

Pendamping Korban dari Lembaga Bantuan Hukum dan HAM Partai Kebangkitan Bangsa, Andi Rakmono mengatakan saksi itu tidak memberikan pernyataan yang berbelit-belit, tetapi memang sebagian besar saksi mengalami kesulitan dalam mengerti bahasa Indonesia.

"Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Madura, sehingga apa yang dikatakan oleh kuasa hukum membuat ia bingung karena memang tidak lancar berbahasa Indonesia. Apalagi mereka itu rata-rata tidak bisa baca tulis karena memang tidak lulus Sekolah Dasar, " katanya kepada The Jakarta Post.

Selain masalah bahasa, Andi juga menilai bahwa selama persidangan orditur tidak berusaha mempertahankan dakwaannya.

"Dengan kesaksian yang diberikan warga akan menguntungkan marinir. Marinir akan memperoleh keringanan hukuman, " katanya kepada The Jakarta Post.

Ruhut Sitompul menyatakan kasus ini memang murni musibah saja karena penembakan ini tidak direncanakan jauh-jauh hari. Kejadian penembakan itu ya terjadi saat itu juga. Jadi tidak bisa dikatagorikan sebagai kejahatan HAM

Seperti diberitakan sebelumnya, dalam surat dakwaannya yang dibacakan oleh Mayor Achmad Agung Iswanto menyatakan tiga belas terdakwa marinir yang mendapatkan tugas berpatroli berjalan kaki di sekitar kompleks Putlatpur dengan membawa 10 pucuk senjata jenis SS-1 dan dua jenis pistol jenis FN-9mm melakukan tindakan pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang

Ketiga belas marinir diantaranya Lettu Budi Santoso, Serda Wahyudi, Serda Abdul Rahman, Kopka Lihari, Koptu Muhammad Suratno, Koptu Totok Lukistantoto, Kopda Warsim, Kopda Helmi Widiantoro, Kopda Slamet Riyadi, Praka Agus Triyadi, Praka Mukhamad Yunus, Praka Sariman dan Praka Suyatno telah mengindahkan perintah dari Wakil Komandan Pusat Latihan Tempur Mayor Husni Sukarwo dan Perwira Seksi Operasi Pusat Latihan Tempur Mayor Umar Bakri untuk menghindari kontak fisik dengan warga sekitar.

Read More......