Kemiskinan Masyarakat Faktor Penyebab Bengawan Solo Meluap


Potret kemiskinan masyarakat di sepanjang sungai Bengawan Solo merupakan salah satu penyebab utama terjadinya banjir luapan sungai Bengawan Solo yang membentang 600 kilometer persegi mulai dari desa Jeblongan Kecamatan Karangtengah Kabupaten Wonogiri Jateng hingga desa Ujung Pangkah Kabupaten Gresik Jatim.

Story by Indra Harsaputra

Bertani merupakan pekerjaan utama Samiun (50), warga desa Trucuk Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro, secara turun temurun. Selama ini, sungai Bengawan Solo banyak mendatangkan rejeki bagi pengairan sawahnya. Setiap tahun, hasil panennya melimpah karena benih padi yang ditanamnya sekitar 5 meter dari sungai tumbuh dengan subur.

Banjir memang sangat akrab bagi Samiun bila musim hujan tiba. Namun, kali ini Samiun tidak pernah menyangka bila sungai Bengawan Solo kini berubah menjadi petaka hebat yang menenggelamkan ribuan rumah penduduk, harta benda, sawah dan tambak di 11 Kota/Kabupaten di sepanjang sungai itu. Padahal seumur hidupnya, belum pernah terjadi bencana banjir sedasyat itu.

Berdasarkan data dari Satuan Penanggulangan Bencana, akibat banjir luapan sungai Bengawan Solo, lebih dari 80.000 rumah di kedua propinsi itu tenggelam dan lebih dari 70 ribu warga tinggal di pengungsian. Selain rumah, ribuan lahan pertanian dan tambak terendam air. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan. Sementara kerugian ditaksir kurang lebih Rp 460 miliar.

"Biasanya kalau banjir paling sebatas sebatas lutut saja dan cepat surut. Namun kini banjir lebih dari 2 meter dan menenggalamkan rumah dan sawah saya. Saat ini, banjir tak surut juga membuat panen padi gagal, " katanya.

"Tetapi saya masih beruntung bisa selamat, " katanya.

Samiun tidak tahu bagaimana kelanjutan hidup keluarganya setelah banjir ini surut. Ia tidak punya simpanan di bank, juga asuransi. Banjir akibat luapan sungai Bengawan Solo yang terjadi sejak 26 Desember sampai saat ini yang masih menggenangi desanya membuatnya semakin jatuh miskin.

"Saya tidak tahu besok saya harus makan apa, seluruh kekayaan saya ludes. Sementara harga bahan pokok di Bojonegoro mulai naik drastis, " katanya.

Harga telur misalnya, dari harga normal sebesar Rp 9000,- naik menjadi Rp 14.000,- per kilogramnya. Harga tempe yang harga sebelum banjir sebesar Rp 1.500,- naik jadi Rp 4000,- per bungkusnya. Demikian juga harga beras, minyak tanah dan beberapa kebutuhan lainnya.

Di kala panen melimpah, bukan berarti Samiun hidup berkecukupan. Harga jual panen tidaklah sebanding dengan mahalnya kebutuhan hidup. Untuk mencukupi kebutuhan ia membuka lahan untuk ditanami pisang dan singkong. Lahan yang semula memang digunakan sebagai lahan resapan kini pun ditumbuhi pisang dan singkong. Beberapa masyarakat lain pun sama dengan yang dilakukan Samiun.

Samiun tidak pernah mengerti bahaya yang terjadi apabila lahan resapan dialihfungsikan. Ia hanya berpikir perut dan kecukupan nafkah. Padahal, dengan perubahan alih fungsi itulah yang membuat sungai Bengawan Solo meluap saat hujan deras.

"Bencana ini bukanlah kesalahan alam maupun manusia. Melainkan ini sudah takdir dan kami harus menerimanya dengan ikhlas, " kata Samiun yang sejak awal banjir tiba sampai sekarang menolak diungsikan.



Tim Ahli Khusus Penanganan Sungai Bengawan Solo Institut Tehnologi 10 November Surabaya (ITS), Umboro Lasminto mengatakan penyebab luapan sungai Bengawan Solo, selain karena curah hujan tinggi itu, juga dikarenakan ketidaktahuan masyarakat dalam mengelola kawasan sungai Bengawan Solo. Banyak masyarakat di sepanjang sungai Bengawan Solo yang mengalihfungsikan lahan resapan menjadi lahan produktif.

"Sehingga saat hujan turun dengan deras, air tidak dapat tertampung dalam lahan resapan itu, " katanya.

Di Widang Tuban, misalnya, sekitar 5 hektar lahan resapan air saat banjir yang telah disiapkan oleh pemerintah kini berubah menjadi pemukiman dan lahan produktif. Akibatnya, di daerah itu sampai kini, masih tenggelam oleh banjir karena air yang sulit meresap mengalir deras sehingga menjebol tanggul.

"Sampai saat ini, pihak pemerintah belum bisa melakukan penambalan tanggul yang jebol karena derasnya air. Bahkan di Widang, saat ini muncul semacam anak sungai karena derasnya air mengkikis daratan, " katanya.

Pengalih fungsian itu juga menjadi penyebab rusaknya Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo.

Dalam penelitian yang berjudul Laporan Studi Ekologi pada Ekspedisi Bengawan Solo Kompas 2007, Ahli Ekologi dan Mikrobiologi Universitas 11 Maret Surakarta Retno Rosariastuti dalam Kompas, 8 Januari 2008 menyatakan ketebalan tanah sepanjang DAS Bengawan Solo tergolong rendah. Syarat ketebalan tanah yang diperlukan untuk menahan air dan penghijauan tanaman keras sekitar 70 centimeter. Namun, riset menemukan kedalaman kurang dari 20 centimeter.

Umboro mengatakan banjir akibat luapan sungai Bengawan Solo juga dikarenakan banyaknya warga yang tinggal di pemukiman di dalam tanggul. Mereka membuat doorlat (pintu tanggul) sebagai akses jalan keluar dari dalam tanggul. Saat banjir tiba, masyarakat telah menutup doorlat dengan kayu, namun jebol karena penutup itu tidak kuat menahan derasnya banjir.

"Sand bag yang seharusnya disediakan oleh pemerintah untuk memperkuat penutupan doorlat juga tidak tersedia. Sehingga air sungai pun meluap masuk ke dalam perkotaan, " katanya.

Selain itu, lanjut Umboro, proyek pembuatan tanggul sepanjang 26 kilometer dari Babat Lamongan hingga Tuban juga belum selesai karena masalah pembebasan lahan masyarakat.

"Sebenarnya, pihak Jasa Tirta sebagai pengelola sungai Bengawan Solo sudah memperkirakan banjir luapan sungai Bengawan Solo akan merembet sampai beberapa deerah di Jatim dimana semakin ke Gresik permukaan semakin rendah. Namun, langkah antisipasi luapan sungai Bengawan Solo sulit dilakukan karena kendala teknis, " katanya.



Hardjono (45), warga desa Sembungrejo Tuban, tidak pernah diberitahukan sebelumnya soal antisipasi banjir oleh pemerintah. Bahkan, pemerintah juga belum pernah mengeluarkan himbauan untuk mengungsi jika memang pihak Jasa Tirta seperti yang dikatakan oleh Umboro telah memprediksi luapan sungai Bengawan Solo di daerahnya.

Saat ini, Hardjono bersama ratusan warga desa beramai-ramai membuat tanggul. Padahal, menurut ahli dari ITS, sebelum berhasil membendung air di Widang Tuban, banjir akan tetap meluas ke daerah itu. Termasuk desa Hardjono.

Sosilog Pedesaan Universitas Airlangga Surabaya, Bagong Suyanto, mengatakan tipikal masyarakat di bantaran sungai, termasuk sungai Bengawan Solo sama dengan masyarakat pegunungan. Masyarakat di sepanjang sungai Bengawan Solo merupakan masyarakat yang termarjinalkan dan miskin, baik secara ekonomi maupun informasi. Mereka percaya bencana merupakan takdir.

"Mereka tidak mempunyai akses informasi tentang bahaya yang dihadapi karena memang pemerintah jarang memberikan penyuluhan. Cara hidup mereka adalah mempertahankan daerah lokalnya saja, sedangkan bahaya di luar daerahnya kurang diperhatikan, " katanya.

"Mereka menjebol tanggul hanyalah karena agar desanya tidak terendam air. Tetapi justru ketika ia menjebol tanggul masyarakat lain akan terkena imbasnya, " katanya.

"Semua ini dilakukan masyarakat hanya karena satu hal yaitu kekurangtahuan mereka yang hidup bertahun-tahun di daerah miskin dan terisolasi, " lanjut Bagong.

Pertanyaannya, siapakah yang harus bertanggung jawab atas kemiskinan itu......?

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan perlunya penyelamatan fundamental penyelamatan DAS sungai Bengawan Solo.

Namun, siapakah yang pantas diselamatkan terlebih dahulu, Pak ?

Pemerintah Jatim pun berencana akan mengganti rugi rumah korban banjir luapan sungai Bengawan Solo yang hancur.

Semoga saja itu akan menyelesaikan masalah kemiskinan ?

Kalau tidak, semoga saja ada takdir lain yang membawa Indonesia ke arah yang lebih cerdas.

0 comments: