13 Marinir Penembak Warga Alas Tlogo Terancam 12 Tahun Penjara



Tiga belas marinir pelaku penembakan terhadap warga desa Alas Tlogo Pasuruan Jawa Timur hingga menyebabkan 4 warga desa meninggal dan 11 lainnya luka-luka terancam hukuman penjara selama 12 tahun. Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya tetap mengklaim telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia dalam peristiwa penembakan tersebut meskipun dalam sidang pertama kasus tersebut di Pengadilan Militer III/12 Surabaya, Rabu (26/3), tim kuasa hukum marinir menyatakan kasus ini murni musibah.

Dalam sidang pertama yang dipimpin oleh Letkol (Chk) Yan Akhmad Mulyana dengan dibantu oleh dua hakim anggota diantaranya Letkol (Laut) Bambang Angkoso Wahyudi dan Mayor Joko Sasmito yang pernah menangani kasus Suud Rusli, ketiga orditur militer menyatakan ketiga belas marinir telah terbukti melakukan tindakan pidana yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain saat bertugas berpatroli berkeliling kompleks latihan tempur. Terdakwa bisa dijerat hukum maksimal antara 6 tahun sampai 12 tahun penjara.

Ketiga orditur militer, yaitu Mayor Achmad Agung Iswanto, Kapten Sus Darwis Hutapea dan Kapten I Made Ardiana juga menyatakan ketiga belas marinir diantaranya Lettu Budi Santoso, Serda Wahyudi, Serda Abdul Rahman, Kopka Lihari, Koptu Muhammad Suratno, Koptu Totok Lukistantoto, Kopda Warsim, Kopda Helmi Widiantoro, Kopda Slamet Riyadi, Praka Agus Triyadi, Praka Mukhamad Yunus, Praka Sariman dan Praka Suyatno telah mengindahkan perintah dari Wakil Komandan Pusat Latihan Tempur Mayor Husni Sukarwo dan Perwira Seksi Operasi Pusat Latihan Tempur Mayor Umar Bakri untuk menghindari kontak fisik dengan warga sekitar.

Dalam surat dakwaannya yang dibacakan oleh Mayor Achmad Agung Iswanto menyatakan pada hari Rabu, 30 Mei 2007, tiga belas terdakwa mendapatkan tugas berpatroli berjalan kaki di sekitar kompleks Putlatpur dengan seragam loreng dan bersenjata, dan hanya satu orang yang berseragam preman. Senjata yang digunakan saat itu terdiri dari 10 pucuk senjata jenis SS-1 dan dua jenis pistol jenis FN-9mm.

"Ketika mereka berada di tempat traktor milik PT Kebun Grati Agung yang bekerja menguruk tanah, terdakwa didatangi oleh warga sekitar. Mereka sempat bernegoisasi, " katanya.

Hingga akhirnya, Komandan Peleton Lettu Budi Santoso mengeluarkan perkataan "Mana kepala desanya, kalau ketemu saya bunuh, "

Kemudian warga yang berkerumun menjawab " Pak kalau perang jangan disini, tapi di Timor-Timur, "

Bentrokan pun tidak terhindari setelah beberapa warga melempar benda keras, kemudian beberapa marinir mengeluarkan tembakan peringatan dengan peluru hampa. Tiga belas marinir pun akhirnya mengganti peluru hampa dengan peluru karet dan kemudian peluru tajam untuk ditembakkan ke tanah. Peluru yang ditembakkan ke tanah itu akhirnya memantul mengenai korban meninggal dan luka.

Namun, orditur lain menyatakan beberapa marinir tidak menembakkan peluru ke tanah melainkan langsung menghujam ke arah kerumunan massa yang berjarak kurang lebih 2 meter dari tempat marinir berdiri.

Diperkirakan jumlah peluru, baik itu peluru karet maupun tajam yang keluar dari moncong senjata lebih dari 50 butir peluru. Setelah menembakkan ke arah massa, terdakwa mengembalikan senjata berikut peluru ke gudang senjata. Menurut petugas gudang senjata, hampir sebagian besar peluru karet dari senjata SS-1 masing-masing marinir telah habis dipergunakan. Sedangkan peluru tajam yang dikembalikan hanya sisa 5 sampai 7 butir.

"Berdasarkan hasil otopsi, tiga dari keempat korban meninggal terdapat benda tumpul mirip peluru yang tepat bersarang di bagian kepala, sedangkan satu korban tewas di bagian dada. Sedangkan sebelas korban luka lainnya memang terkena serpihan benda tumpul mirip peluru, " kata Mayor Achmad.

Ketua Tim Kuasa Hukum Marinir Ruhut Sitompul mengatakan meskipun dalam dakwaannya orditur mengungkap hal yang berlebihan seperti soal kontraversi arah tembakan, pihaknya tidak mengajukan eksepsi atas dakwaan dari orditur karena kejadian di Alas Tlogo itu bukanlah kasus pelanggaran HAM melainkan murni musibab.

"Kasus ini memang murni musibah saja karena penembakan ini tidak direncanakan jauh-jauh hari. Kejadian penembakan itu ya terjadi saat itu juga. Jadi tidak bisa dikatagorikan sebagai kejahatan HAM, " katanya.

"Kami meminta maaf sebesar-besarnya kepada seluruh keluarga korban atas musibah yang tidak diinginkan ini. Mereka (terdakwa) merupakan prajurit tangguh dan mempunyai dedikasi tinggi," katanya.

Koordinator Devisi Tanah dan Lingkungan LBH Surabaya, Mochammad Faiq Assiddiqi mengatakan sebelum terjadi penembakan oleh marinir memang telah terjadi pelanggaran HAM di sana berkaitan dengan masalah tanah milik warga yang diklaim menjadi milik TNI AL sebagai tempat latihan tempur.

"Ketika kasus tanah disana masih dalam proses pengadilan, TNI AL dengan caranya telah melakukan upaya intimidasi terhadap warga sekitar dan tragedi penembakan itu hanyalah sebagai puncaknya saja. Oleh karena itu, kita harus melihat masalah ini dengan jeli, " katanya kepada The Jakarta Post di sela sidang pertama kasus Alas Tlogo di Pengadilan Militer III/12 Surabaya.

Hingga kini, Sidang kasus Alas Tlogo ini terus berlanjut dengan mendengar kesaksian dari warga sekitar dan beberapa saksi lainnya.

Beberapa perwakilan keluarga korban penembakan yang sempat menghadiri sidang pertama kasus tersebut meminta agar secepatnya kasus ini diputuskan. (INDRA HARSAPUTRA)

Read More......

Jutawan Kerupuk



Anda ingin mengetahui seberapa banyak orang Indonesia yang gemar makan kerupuk ? Hanya dengan kerupuk, Supardi (55) pengusaha kerupuk tradisional yang dengan kerja kerasnya selama puluhan tahun bisa menghantarkannya menjadi seorang jutawan.

Tahu itu kerupuk ? Bagi saya itu makanan favorit saya yang akrab di telinga sebagian besar rakyat kecil di Indonesia. Makanan ringan yang terbuat dari tepung ini banyak dijumpai di warung kaki lima dan jarang dijumpai di restoran mewah. Tidak salah kemudian bila kerupuk, oleh sebagian orang Indonesia justru menjadi anekdot untuk memperolok seseorang yang berbadan kurus dan dipandang kurang gisi.

"Saat pertama mengawali usaha pembuatan kerupuk saya percaya bahwa suatu saat nanti kerupuk bisa menjadi makanan yang mahal dan digemari oleh semua orang baik itu kelas menengah atas maupun bawah, " kata Supardi kepada The Jakarta Post.

Supardi bukanlah ahli ekonomi ataupun bisnis. Ia hanyalah pria yang tidak sampai tamat Sekolah Dasar. Membaca dan menulis saja ia tidak fasih. Tidak jarang bila berhadapan dengan kontrak jual beli yang melibatkan kemampuan baca tulis, Supardi meminta bantuan kepada Mulyandi, putra ketiga dari empat bersaudara yang saat ini sedang melanjutkan pendidikan pasca sarjana Ekonomi dan bisnis di perguruan tinggi swasta untuk menterjemahkannya.

Sejak berumur 8 tahun, Supardi yang dilahirkan dari keluarga buruh tani di desa Gemulung Kabupaten Sregen Jawa Tengah menjadi yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal karena penyakit. Kondisi ekonomi saat itu membuat penyakitnya tidak bisa ditangani secara medis karena tidak mampu membayar rumah sakit.

Sepeninggal kedua orang tuanya, Supardi diasuh oleh salah satu saudaranya yang rumahnya tidak jauh dari kediaman orang tua Supardi. Mengingat kondisi ekonomi pengasuhnya itu membuat Supardi terpaksa putus sekolah.

Untuk mencukupi kebutuhannya, Supardi pun bekerja sebagai pencari rumput makanan ternak. Ia tidak diberi upah bulanan, melainkan mendapatkan upah tahunan berupa seekor kambing. Masa kecilnya pun dihabiskan dengan bekerja pagi hingga sore hari. Tidak ada waktu baginya untuk bermain dengan teman-temen sebayanya.

"Saat bekerja saya sering melamun menjadi orang kaya. Seringnya melamun justru membuat tangan saya terluka akibat tersayat alat pencabut rumput," katanya sambil menunjukkan jemari tangan yang menghitam bekas luka.

Hari demi hari ia lalu dengan bekerja di tengah sengatan terik matahari. Hingga akhirnya, upah seekor kambing pun ia terima sebagai tanda kerja kerasnya. Kambing itu pun dijualnya, kemudian uang diserahkan kepada pengasuhnya untuk digunakan sebagai penopang hidup.

Tahun demi tahun berikutnya ia lalui seperti biasa. Saat berumur 17 tahun, Supardi berniat untuk merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Dengan modal minim dan sepotong pakaian, ia meninggalkan desanya menuju Surabaya.

Di kota Pahlawan ini ia berharap bisa bekerja menjadi buruh pabrik. Namun sialnya, setelah berulangkali melamar pekerjaan, tidak ada satupun yang mau menerimanya.

"Saat itu saya hampir putus asa karena sudah tidak punya uang di saku. Apalagi di kota Surabaya, saya tidak punya saudara. Tetapi saya harus optimis bahwa saya tidak akan menjadi gelandangan karena tidak mempunyai tempat tinggal, " katanya.

Salah satu rekannya seperantauan mengajak Supardi membuat dan kemudian menjual kerupuk yang saat itu harganya masih Rp 1,-. Untuk modal pertama, rekannya itu yang membiayainya.

Setiap hari, ia harus menjual kerupuk dengan berjalan kaki sejauh lebih dari 40 kilometer dengan membawa bakul jinjingan. Satu per satu ia mendapatkan pelanggan. Hingga akhirnya, ia mampu membayar hutang kepada rekannya yang memberikan pinjaman modal.

Keuntungan pun ia dapatkan dan sebagian penghasilan itu dibelanjakan untuk membeli sepeda pancal. Dengan mengayuh sepeda barunya itu, Supardi menjangkau area yang lebih luas lagi. Jumlah pelanggannya pun bertambah.

Beberapa tahun kemudian, ia membeli sepeda motor. Hingga akhirnya, saat ini Supardi menjadi pengusaha kerupuk terbesar di Surabaya yang mempunyai 80 orang pekerja. Penghasilannya lebih dari Rp 10 juta per hari.

Dengan penghasilan tersebut, Supardi memiliki dua mobil mewah seharga diatas Rp 200 juta, tanah sawah seluas lebih dari 60 hektar, dan 3 rumah yang masing-masing berukuran diatas 600 meter persegi. Itupun belum termasuk uang dalam bentuk tabungan dan aset tak bergerak lainnya.

Anda bisa menghitung berapa jumlah penggemar kerupuk di Indonesia bukan setelah melihat berapa aset Supardi ?

Prospek Bisnis Kedepan
Bagaimana seorang yang tidak lulus SD bisa mengelola bisnis ? Apalagi sejak kecil ia bukanlah dilahirkan dari keluarga pedagang seperti orang China di Indonesia yang mayoritas sejak lahir akrab dengan dunia dagang ?

Ketika 60 pengusaha kerupuk di Surabaya gelisah dengan kenaikan harga minyak goreng dari Rp 9000,- per liternya menjadi Rp 14.000,- per liternya, Supardi pun mengalami nasib yang sama. Saat itu, ia terpaksa menaikkan harga kerupuk dari Rp 200,- menjadi Rp 250,- per buahnya.

Namun, kerupuk yang telah dinaikkan harganya itu ternyata tidak laku di pasaran pasalnya semua pedagang menolak harga tersebut dengan alasan konsumen enggan membelinya. Sehingga kerupuk yang seharusnya terjual, kini tertimbun di gudangnya. Hari itu kerugiannya mencapai Rp 5 juta.

"Ini merupakan pilihan sulit bagi saya, tetapi saya bertekad terus memproduksi kerupuk hanyalah demi melayani konsumen saya. Tetapi konsumen ternyata menolak dengan harga itu, " katanya.

Setelah menderita kerugian, tanpa berpikir panjang dalam menyusun strategi penjualan, Supardi memutuskan tetap berproduksi dengan harga Rp 200,- namun ukuran kerupuk diperkecil dari ukuran biasanya.

Tidak takut rugi lagi ? "Sejak dahulu saya selalu tidak pernah berpikir panjang dalam menjual. Bagi saya yang penting konsumen tidak kehilangan makanan kerupuk. Lebih baik rugi lagi ketimbang membuat konsumen kecewa, " katanya.

Beruntunglah strategi tanpa berpikir panjang Supardi bisa diterima oleh pasar. Konsumen menerima kerupuk dengan ukuran lebih kecil ketimbang harga kerupuk dinaikkan.

Industri kerupuk, kata Supardi, telah terbiasa dengan pahit getirnya sebuah usaha. Kerupuk yang di era tahun 80-an pernah seharga Rp 1,- terus naik hingga harga saat ini. Kenaikan harga kerupuk lebih banyak terpengaruh oleh kenaikan harga bahan baku, misalnya tepung terigu, minyak tanah dan minyak goreng.

Sejak harga minyak tanah naik secara berlahan mulai tahun 2004 lalu, Supardi menggantikannya dengan kayu bakar. Sehingga ketika minyak tanah yang langka di Surabaya akibat program konversi minyak tanah ke elpiji, Supardi tidak bingung.

"Kalau harga minyak goreng naik itu yang paling membingungkan sebab tidak mungkin ada bahan pengganti selain minyak goreng, " katanya.

Supardi telah berusaha menggantikan minyak goreng dengan pasir. Namun cara itu gagal karena hasil gorengannya tidak maksimal dan rasa dari kerupuk jauh berbeda.

Meskipun dilanda dilema pasca kenaikan minyak goreng, namun Supardi optimis bisnis kerupuk akan semakin cerah di tahun mendatang. Sebab, rasa kerupuk yang tidak bisa tergantikan dengan rasa makanan ringan lainnya.

Ya, kini kalau sudah sedikit mahal, kerupuk bukan saja menjadi makanan ringan kaum miskin, tetapi juga kaum menengah keatas. Buktinya, Supardi yang berencana memiliki rumah lagi berhasil "makan" hanya dengan berjualan kerupuk.(INDRA HARSAPUTRA)

Read More......

Kebahagiaan Hidup Ala Pembuat Miniatur Perahu Trasional



Bukanlah harta kekayaan yang membuat seseorang berbahagia di hari tua. Di usia senja, Djuhhari Witjaksono (77), pengrajin miniatur perahu tradisional di Mojokerto, Jawa Timur terus bergulat membuat miniatur perahu bersama dengan puluhan pemuda pengangguran.

Di rumahnya di Jl. Brawijaya no 302 Mojokerto tidak tersimpan serial bacaan pemberi inspirasi hidup ala A Cup of Chicken Soup for the Soul karya trio inspirator Jack Canfield, Mark Victor Hansen dan Barry Spilchuk. Juga bacaan best seller karya Robert T Kiyosaki berjudul Rich Dad, Poor Dad.

Djuhhari hanya menyimpan puluhan buku tentang berbagai sejarah dan ulasan perahu trasional dari berbagai penjuru dunia, sejarah kerajaan Majapahit dan pengetahuan umum yang memberinya inspirasi dalam membuat miniatur perahunya, seperti buku berbahasa Belanda berjudul Die letzten groken Segelschiffe karya Delius Klasing Verlag dan The Prahu,tradisional Sailing Boat of Indonesia karya Adrian Horridge.

Dimanakah ia menemukan kehidupannya ?

"Saya gemar membaca buku tentang agama dan sejarah dunia dan perkapalan, dan disitulah saya selain mendapatkan pengetahuan juga pelajaran tentang arti hidup, " katanya.

Sekitar tahun 1950, Djuhhari yang aktif menjadi anggota Pramuka, Bapak Pandu Pramuka se-dunia Robert Baden Powell berkunjung di Surabaya. Di depan ratusan anggota Pramuka ia berkata "Berjalanlah sampai ke daratan dan berlayarlah sampai ke pantai, "

Saat itu, Djuhhari tidak mengerti apa arti ucapan itu.

Tetapi, sepulang dari acara Powell, Djuhhari pun tertarik dengan bacaan tentang dunia maritim, khususnya mengenai perkapalan. Ia hanya mengingat kata-kata berlayar saja yang identik dengan perahu.

"Saya sangat tertegun melihat perahu yang terbuat dari kayu milik bangsa Portugis yang mampu berlayar keliling dunia dengan berbagai tantangan di laut. Kemudian saya mencoba membuatnya miniatur perahu itu, " katanya.

Setelah bertahun-tahun menggeluti membuat miniatur perahu tradisional, kini ia baru mengerti apa yang dimaksud Powell saat itu. Powell, kata Djuhhari, rupanya memberikan inspirasi tentang kehidupan.



Tidaklah mudah berjalan sampai ke daratan dan berlayar sampai pantai. Namun agar dapat melaju di ganasnya gelombang laut dan sampai ke pantai, perahu haruslah dibuat kuat dan tangguh menghadapi segala jenis gelombang.

"Kesulitan membuat perahu yang kuat terletak pada tingkat kerumitannya. Saya harus bersabar dan terus mencoba menyusun satu demi satu bagian perahu. Tidak jarang pula saya harus membongkar kembali demi mendapatkan bentuk aslinya, " katanya.

Keluarga
Saya pun menggambarkan kehidupan Djuhhari mirip seperti apa yang dikata
Barry Spilchuk, profesional motivation trainer asal Kanada dalam A Cup of Chicken Soup for the Soul menuliskan harta anda bisa berlimpah, namun warisan terbaik yang dapat anda berikan kepada anak-anak anda adalah teladan yang baik.

Di buku yang sama Hodding Carter mengungkapkan hanya ada dua warisan kekal yang semoga dapat kita berikan kepada anak-anak kita; yang satu adalah akar, yang lainnya adalah sayap.

Begini ceritanya, Djuhhari yang dilahir di Malang 15 Desember 1930 dididik dalam sebuah keluarga besar penganut poligami. Ia mempunyai dua ayah dan tiga orang ibu. Saat itu, perekonomian keluarga menjadi masalah utama meskipun Djuhhari mengaku tidak mendapatkan masalah dalam berhubungan dengan orang tuanya.

"Kedua ayah saya bekerja sebagai sopir truk, begitu juga dengan keempat saudara saya yang juga menjadi sopir, sedangkan ketiga ibunya tidak bekerja, " kata Djuhhari yang paling muda diantara keempat saudaranya itu.

Oleh karena himpitan ekonomi membuat keempat saudaranya tidak bisa meneruskan pendidikan Sekolah Dasar, lantas bekerja membantu kedua ayahnya. Kemiskinan pulalah sering membuat Djuhhari harus makan makanan kurang bergizi, yaitu nasi dan garam ataupun singkong dan garam.

Towil Pawirjo, salah satu ayahnya meminta agar bagaimanapun caranya agar Djuhhari tetap bersekolah dan tidak bekerja di usia dini seperti keempat saudaranya. Ia ingin agar Djuhhari tidak menjadi sopir dengan penghasilan minim.

"Ayah saya bekerja sangat keras siang dan malam demi memenuhi kebutuhan sekolah saya hingga di Sekolah Menengah Atas. Ayah saya mengajarkan kepada saya apa artinya kerja keras demi sebuah tujuan, " kata Djuhhari.

Setelah lulus dari Sekolah Tehnik Menengah, Djuhhari pun bekerja di perusahaan kontraktor jalan raya. Di sela kesibukan pekerjaanya, ia menyempatkan diri untuk mempelajari kehidupan masyarakat nelayan di Indonesia.

Setelah pensiun dari pekerjaannya, Djuhhari mulai menekuni ketrampilannya membuat miniatur perahu. Ia kemudian mengajak pemuda pengangguran yang ada di sekitarnya untuk bekerja di tempatnya.

"Banyak orang yang setelah pensiun ingin menikmati masa tuanya dengan tidak bekerja. Tetapi tidak bagi saya yang ingin terus bekerja demi mencapai kesuksesan bagi orang lain, " katanya.

Berhasil
Dalam bukunya, Robert T Kiyosaki mengatakan orang kaya tidak bekerja untuk uang. Setelah pensiun, Djuhhari mengajarkan ketrampilannya membuat miniatur perahu kepada ratusan pengangguran di sekitar rumahnya.

Saya sempat bertandang ke rumahnya, saat itu Djuhhari terlihat serius memberikan pengarahan kepada salah satu pemuda yang tangannya penuh dengan tato bergambar ular naga yang bekerja membuat miniatur perahu tradisional "Dewa Ruci" di bengkel kerajinanya.

"Tiang perahu ini harus dihaluskan lagi, kemudian ditancapkan pada celah-celah bagian perahu, Ingat jangan salah menancapkannya karena akan mengubah bentuk asli perahu, " katanya kepada pemuda bertato itu.

Di bengkel kerajinannya itu tersimpan puluhan jenis perahu tradisional beraneka bentuk dan ukuran yang siap dijual. Harga masing-masing perahu berkisar antara Rp 7.500,- sampai dengan Rp 600 juta. Harga itu dipatok sesuai dengan tingkat kerumitan dan ukuran miniatur itu sendiri.

Selain dijual di pasar lokal, produk perahu miniatur Djuhhari juga dijual ke mancanegara. Karya buatannya pun telah diakui oleh pasar dunia. Ini terbukti Djuhhari memperoleh penghargaan di bidang Seal of Excellence for handicrafts tahun 2006 untuk perahu tradisional kerajaan Majapahit buatannya dari United Nations Educational Sciencetific and Culture Organization.

Ide kreasi miniatur perahu yang dipakai pada zaman kerajaan Majapahit itu ia dapatkan setelah membaca puluhan referensi buku sejarah tentang kerajaan Majapahit yang pusat pemerintahannya berada di Trowulan, Kabupaten Mojokerto atau sekitar 20 kilometer dari kediamannya.

"Dengan hasil ciptaan saya ini bisa menjadi referensi bahwa nenek moyang kita dahulu memang seorang pelaut. Ini dibuktikan dengan sejak zaman Majapahit telah dibuat perahu tradisional yang bentuknya tidak kalah dengan perahu yang dibuat oleh bangsa Portugis, " katanya.

Sayangnya, sejak zaman penjajahan Belanda, kreasi penduduk lokal membuat perahu yang bisa berlayar ratusan mil ini pupus setelah keluarnya larangan dari pihak penjajah kepada pribumi untuk membuat perahu yang lebih dari 20 ton. Sehingga pada masa penjajahan hingga sekarang perahu tradisional bentuknya kecil dan hanya cukup sebagai menangkap ikan saja.

Sedangkan bangsa lain, seperti Portugis, Inggris dan Spanyol sudah lebih modern membuat kapal kayunya dan sanggup berjalan ratusan mil jauhnya.



"Selain mendidik para pemuda pengangguran untuk bisa bekerja, saya juga mengajarkan kepada mereka agar tetap mengingat bahwa sejarah nenek moyang Indonesia yang juga sebagai pelaut, " katanya.

Sama halnya dengan pekerja lainnya, pemuda pengangguran yang bekerja membantu Djuhhari membuat miniatur perahu juga diberikan upah maupun uang makan. Namun, Djuhhari yang memulai usahanya sejak tahun 1980 itu tidak pernah melarang setiap karyawannya untuk membuka usaha sejenis. Bahkan, ia selalu mendorong karyawannya agar mandiri. Tidak segan-segan pula ia memberikan bantuan modal kepada mereka yang terampil dan siap berwiraswasta secara mandiri.

Hingga saat ini ratusan karyawan didikannya telah membuka usaha serupa di beberapa tempat di Indonesia, mulai dari Jawa Tengah hingga Jakarta. Bahkan, anak didiknya yang telah berhasil juga menerapkan ilmunya kepada pemuda pengangguran lainnya.

"Saya selalu memberikan nasehat agar anak didik saya yang berhasil harus mengajarkan cara membuat miniatur kapal ini kepada generasi muda dan pengangguran agar mereka menjadi orang yang mandiri sekaligus cinta terhadap sejarah nenek moyangnya, " katanya yang pernah mendapatkan penghargaan Upakarti dari Presiden Soeharto 28 Desember 1991.

Kini, di usianya yang mulai uzur, ia sedang berbahagia karena ia dicintai keluarga dan masyarakat atas usahanya, seperti petuah bilang kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah kepastian untuk dicintai.

Sedangkan, cinta Djuhhari kepada perahunya itu seperti ungkapan genta bukanlah genta sebelum dibunyikan, lagu bukanlah lagu sebelum dinyanyikan dan cinta bukanlah cinta sebelum dipersembahkan. (INDRA HARSAPUTRA)

Read More......

Liver Noordin Trouble, Kastari Diduga Tak Jauh

by :Indra Harsaputra/The Jakarta Post/Surabaya

Kondisi kesehatan Noordin M Top buronan polisi atas kasus serangkaian terorisme di Indonesia yang terakhir berhasil terlacak di Tuban Jawa Timur menurun dan diketahui terkena gangguan liver.

Beberapa narasumber di kepolisian yang aktif melakukan pengejaran menyebutkan lokasi pelarian Noordin saat terdeteksi dengan bantuan alat pelacak alat komunikasi awal Maret 2008 lalu di sebuah klinik kesehatan di Tuban Jawa Timur. Namun Noordin berhasil lolos dari kejaran polisi.

"Dokter yang memeriksa membenarkan bahwa Noordin mengalami gangguan liver, " kata sumber tersebut.

Pasca terdeteksinya Noordin M Top di Tuban Jawa Timur, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Surabaya, polisi mulai memperketat pengamanan di Jawa Timur. Apalagi muncul dugaan bahwa Mas Selamat Kastari, tokoh sentral Jamaah Islamiyah Singapura yang kabur dari penjara Whitley Road Detention Center Singapura dan menjadi buron polisi Singapura berada dalam pelariannya di Jawa Timur.

"Kami menduga Mas Selamat Kastari juga tidak akan jauh dari Noordin M Top. Tetapi kami lebih memprioritaskan Noordin dibandingkan dengan Kastari karena ia memang buron polisi Singapura, " lanjut sumber itu.

The Post berhasil mendapatkan dokumen di kepolisian yang menyebutkan hubungan Noordin M Top dengan Kastari.

Demikian bunyinya, sebelum Kastari melarikan diri ke Indonesia setelah rencana peledakan Bandara Changi dengan cara menabrakkan pesawat yang dibajak dari Thiland dan rencana ini direstui oleh Hambali gagal, setelah wajah Kastari bersama dengan empat rekannya banyak terpampang di bandara Thailand, ia pernah bertemu dua kali dengan Noordin M Top di Pondok Pesatren Lukman Nul Hakim Malaysia.

Bahkan, Kastari pernah menjadi santri di pesantren yang dipimpin langsung oleh Noordin M Top tersebut. Di pesantren itulah Kastari pun bertemu dengan Amrozi, tersangka peledakam Bom Bali II dan Hosnia alias Alwi yang mertua Al Ghozi.

Selain kedekatannya dengan Noordin M Top, Kastari juga dekat dengan beberapa tokoh Jamaah Islamiyah di Indonesia dan tersangka serangkaian teror bom di Indonesia, diantaranya; Yazid anggota JI Indonesia yang alumnus Akmil Mujahiddin Afganistan angkatan ke-6, Said Sungkar anggota JI Indonesia, Mukhlas alias Ali Ghufron dan Abu Dujana.


Muklas dan Abu Dujana, misalnya, pernah membantu Kastari mengurus segala keperluan Mashadi (16), anak pertama dari lima Kastari di Pondok Pesantren Al Mutaqqin di desa Sowan Kidul Kabupaten Kedung Jepara Jawa Tengah.




Sebuah sumber menyatakan hingga kini anak Kastari masih menempuh pendidikan di pondok pesantren yang pernah meluluskan Dzulkarnain alias Uztad Daud Abu Rusdan, Ketua Askari (chief of army) JI.

Namun, juru bicara pesantren, Hj Hasyim As'ari membantah hal itu.


"Siswa saya yang berjumlah 900 santri ini memang mayoritas berasal dari keluarga miskin dan yatim piatu di luar Jawa itu tidak mempunyai masalah apapun dengan identitasnya, " katanya.









Jejak Kastari di Indonesia
Bambang Haryono (43), ahli modifikasi motor besar di Jl Pattimura gang 12 nomor 35 Malang yang disebutkan dalam dokumen polisi pernah menerima kerja Kastari di bengkelnya. Namun ia bersumpah, tidak mempunyai hubungan khusus dengan Kastari yang waktu itu mengaku bernama Salim itu.

"Sumpah, saya tidak tahu kalau ia menjadi buronan polisi Singapura. Waktu itu saya hanya menolongnya mencari pekerjaan dan selama bekerja di bengkel saya, ia hanya menerima upah makan, " katanya kepada The Jakarta Post.

Di mata para tetangga dekatnya, sejak mengenal Kastari Bambang yang sebelumnya dikenal nakal, berambut panjang, dan bertato itu menjadi alim dan taat beribadah. Rambut panjangnya selalu dipotong rapi namun tatto bergambar seorang perempuan di tangan kanannya tidak bisa ia sembunyikan.

Bambang mengaku mengenal Kastari di mesjid Sudirman, Jl R.T Soeryo nomor 5 Malang. Setelah bebas dari masa hukuman 9 bulan di LP Medaeng, Kastari memang tinggal di mesjid itu kurang lebih dua bulan lamanya atas rekomendasi Jauhari Ibrahim, salah satu anggota Wakalah Umar Singapura yang juga menemani Kastari dalam pelatihan militer di Afganistan selama 20 hari tahun 1993.

"Kastari orangnya tidak banyak bicara apapun tentang asal-usulnya. Dengan logat melayu ia sering bercerita seputar dunia otomotif yang menjadi kesukaannya karena di Singapura ia pernah bekerja di bengkel, " katanya.

Selain bergaul dengan Bambang, Kastari juga dekat dengan Edi Suhan, pengurus mesjid Sudirman yang juga pernah bekerja di bengkel mobil Volks Wagen di Malang. Saat ini, Edi membuka praktik bekam, salah satu pengobatan alternatif di rumah saudaranya Darkan yang hanya 3 kilometer dari mesjid Sudirman Malang.



Dibandingkan dengan Bambang, Edi lebih tertutup. Darkan enggan menyebutkan alamat rumah Edi yang telah berumah tangga itu. Jika ada pasien yang mau berobat diwajibkan menghubungi terlebih dahulu. Oleh karena itu, tempat praktiknya selalu terkunci rapat dengan pintu rolling door yang terbuka sedikit. Darkan dan Edi selalu mengunci pintu itu setiap ada tamu yang keluar masuk. Sebuah buku tentang jihat dan poster terpampang di salah satu meja komputer di ruang praktiknya.

Darkan dan Edi tidak berkomentar banyak tentang buku dan poster itu. Saat ditanya soal Kastari, Edi mengelak, "Saya tidak tahu orang ini, " katanya.

Kastari ditangkap oleh Detasemen 88 Anti Teror Mabes Polri di sekitar mesjid Baitul Ghaffar yang terletak di komplek perumahan Bumi Asri Sengkaling Malang Jawa Timur 19 Januari 2006 atau dua bulan setelah penyergapan Azahari,--hingga tewas--, Batu Malang tanggal 9 November 2005. Jarak lokasi penyergapan Azahari yang menjadi tempat tinggal Azahari di Malang hanya berjarak 10 kilometer dari tempat Kastari ditangkap.

Setelah ditangkap di Malang, Kastari kemudian dibawa di Singapura dan ditahan di penjara Whitley Road Detention Center Singapura.

Seperti diketahui, penangkapan Kastari di Malang bukanlah yang pertama. Berdasarkan data di kepolisian, Kastari pernah ditangkap tiga kali di Indonesia atas kasus pemalsuan Kartu Tanda Penduduk dan paspor.

Perjalanan Kastari di Indonesia dimulai pada 8 Januari 2002 Kastari melarikan diri ke Indonesia setelah rencana peledakan bandara Changi Singapura gagal. Kastari bersama dengan empat rekannya yang juga tersangka rencana peledakan, yaitu Ishak Nuhu, Husaini, Hasan dan Rosyid berangkat dengan menggunakan kapal laut "Satoon" berangkat dari pelabuhan di pantai Barat Thailand menuju pelabuhan Belawan Medan, kemudian menginap di Bali selama selama 3 hari, kemudian ke Jakarta dan akhirnya naik bus menuju Surabaya.

Selama di Surabaya, kebutuhan Kastari termasuk mengurus identitas baru diurus oleh Yazid, seorang alumnus Akmil Mujahiddin Afganistan angkatan ke-6. Dalam melakukan tugasnya, Yazid dibantu oleh Ayub.

Kastari sendiri hanya membayar Rp 500.000,- kepada Ayub untuk menguruskan Kartu Tanda Penduduk dan juga paspor baru. Dengan identitas baru itu, Kastari merubah namanya menjadi Edi Hariyanto dengan alamat palsu di desa Mondo, Kecamatan Mojo Kabupaten Kediri. Ayub juga menyiapkan rumah kontrakan bagi Kastari di desa Gelam Kecamatan Candi Sidoarjo.

"Ayub sendiri masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi atas kepemilikan senpi dan pemalsuan KTP beserta pasport, " kata Kepala Unit II Satuan Pidana Umum Dit Reskrim Polda Jatim, Ajun Komisaris Polisi Wahyu Wim Hardjanto kepada The Jakarta Post.

Setelah mendapatkan identitas baru, Kastari menyusul kelima anaknya dan istrinya Nurlela di desa Urung Kecamatan Kendur Utara dan desa Pamak Kecamatan Tebing Kepulauan Riau. Di kedua desa ini, Kastari sempat menjadi petani dan berjualan roti sambil mengurus identitas baru bagi istri dan kelima anaknya. Ia pun sempat tinggal dengan Hosnia.

Selama di Kepulauan Riau, Kastari masih melakukan kontak fisik dan telepon dengan keempat rekannya Ishak Nuhu yang menurut sumber di kepolisian terakhir berdomisili di Kudus Jawa Tengah, Husaini yang tinggal di Surabaya, Hasan di Jawa Tengah dan Rosyid di Semarang Jawa Tengah.

Pada tanggal 22 Desember 2002, polisi melakukan penggerebekan di tempat tinggal Kastari. Upaya penangkapan terhadap Kastari itu atas permintaan penangkapan dari Interpol . Namun, Kastari beserta keluarganya berhasil kabur. Polisi hanya menangkap Hosnia.

"Kastari sendiri tertangkap di Tanjung Pinang Kepulauan Riau setelah lari dari Batam. Waktu tertangkap ia bersama dengan anak dan istrinya dan tidak mengaku soal identitasnya, " kata Ajun Komisaris Besar Polisi Susanto, Kanit I Pidana Umum Dit Reskrim Polda Jatim yang saat itu menjabat sebagai Kasatserse Polres Tanjung Pinang.

2 Februari 2003 Kastari ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Pekan Baru, sedangkan anak dan istrinya telah dideportasi ke Singapura. Ia ditahan atas pemalsuan identitas. Tidak lama kemudian, ia kembali di tahan di LP Medaeng dan Rutan Pasuruan atas dakwaan pemalsuan identitas sewaktu ia berada di Sidoarjo.

"Di pengadilan Indonesia, Kastari tidak terbukti terlibat terorisme namun ia didakwa atas kasus pemalsuan identitas, " kata Fahmi Bachmit,pengacara Kastari.

Read More......

Gunung Kawi, Ikon kota Malang yang Membawa Berkah

by : Indra Harsaputra/The Jakarta Post/Malang

Gunung Kawi, sebuah lokasi wisata ikon kota Malang yang dipercaya membawa berkah memang selalu membawa keberuntungan. Anda tidak percaya ?

Seorang rekan, penghobi mobil Volkswagen, yang cukup lama tinggal di Malang mengirimkan pesan singkat via seluler.

"Anda akan menjadi orang yang tidak beruntung bila ke Malang tidak mampir ke Gunung Kawi, apalagi nanti malam itu Jumat Legi."

Gunung Kawi memang selama ini dipercaya membawa berkah. Siapa saja yang datang ke tempat itu, berharap segala usahnya, bisnis dan perjodohan dapat mengalir dengan mulus. Para politikus yang berambisi menjabat sebagai kepala daerah juga seringkali menggelar hajatan ke Gunung Kawi.



Mertua saya, misalnya, yang tinggal di Kediri Jawa Timur keturunan Tionghwa. Mereka sangat percaya dengan Gunung Kawi yang memang membawa keberuntungan dalam berbisnis. Bisnis mertua memang lancar begitu ia pulang dari ritual di Gunung Kawi, gunung yang tingginya kurang lebih 800 meter dan berada di desa Wonosari Kecamatan Wonosari Malang Jawa Timur itu.

Namun itu dulu. Kini mertua memilih menjadi seorang Moslem khusuk. Usaha toko yang menjual kebutuhan rumah tangga tidak lagi sebesar yang dulu. Bukan berarti lantas ia tidak pernah lagi ke Gunung Kawi, tetapi memang karena umurnya telah lanjut apalagi keempat anak-anaknya enggan meneruskan usahanya itu dan memilik berkarier di bidang perbankan.

Sejak tahun 1910, banyak orang keturunan Tionghoa yang "ngalap rejeki" di Gunung Kawi. Ong Hok Liong, pendiri pabrik rokok Bentoel di Malang juga sering berkunjung di Gunung Kawi.

Ia sering mengajak istrinya Liem Kiem Kwie Nio untuk bersemedi di dua makam Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono yang dikenal keramat di Gunung Kawi.



Sebenarnya, kedua tokoh itu bukanlah seorang keturunan Tionghwa, namun merupakan 2 dari 75 pengikut Pangeran Dipenogoro yang melarikan diri ke Malang pasca penangkapan Pangeran Dipenogoro oleh Kolonel Du Perron dan Mayor Michiels atas perintah Jenderal de Kock pada 26 Maret 1830.

Dari Magelang, Pangeran Dipenogoro sendiri kemudian Batavia setelah itu di Menado dan terakhir diasingkan di Makassar hingga akhir hayatnya pada 8 Januari 1855.

Ketika di Malang yang saat itu masih masuk dalam karasidenan Pasuruan, Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono bersama rekan-rekannya tidak melakukan perlawanan terhadap kompeni Belanda, malah menyiarkan agama Islam.

Prasasti di Pasarean Gunung Kawi yang bertuliskan dalam bahasa Jawa dan satu lagi bertuliskan tulisan latin menceritakan aktifitas Mbah Jugo dan Mbah Imam Sujono.

Lalu mengapa kedua makam itu menjadi sangat spesial bagi Ong Hok Liong dan beberapa masyarakat keturunan Tionghwa lainya ? Padahal di Jawa Timur sendiri banyak tempat pemakaman penyiar agama Islam.

Pertanyaan itu hingga kini masih misterius.



Ong, juga mungkin masyarakat Tionghwa lainnya tidak mau ambil pusing soal sejarah itu. Ong tetap percaya memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk beritual di kedua makam itu membawa berkah bagi usaha rokok yang mulai dirintisnya. Apalagi Ong sering mengalami kegagalan dalam memasarkan rokok buatannya yang terus melesu. Mulai dari rokok merek tjap Boeroeng, Kelabang, Kendang, Toerki, Djeroek Manis dan lain-lain.

Usaha Ong tidaklah sia-sia. Suatu malam, saat beritual, Ong bermimpi melihat seorang penjual bentul. Ketika terbangun ia menceritakannya kepada penjaga makam, dan kemudian atas saran dan petunjuk penjaga makam, Ong mengganti produknya dengan nama Bentoel. Tahun 1947, pabrik rokok Bentoel mencapai kesuksesan yang luar biasa.

Hingga kini, rokok Bentoel menjadi produk andalan kota Malang yang produknya diisap oleh ribuan perokok di Indonesia. Bentoel juga menjadi sponsor klub sepak bola Arema Malang kebanggaan kera Ngalam (bahasa Kawilan, dibalik arek Malang).

Keuntungan Penduduk Desa
Ternyata benar juga bunyi pesan singkat rekan tadi. Saya beruntung bisa berkunjung di Gunung Kawi. Meskipun tidak menggelar hajatan, namun saya puas memotret satu per satu kehidupan di malam Jumat Legi di Gunung Kawi.

"Silakan beli bunga Mas, murah kok hanya Rp 2000 saja per bungkusnya, " teriak pedagang bunga bersahutan. Sementara di bagian sisi lain, puluhan pengemis duduk sambil menyodorkan topinya meminta uang kepada pengunjung.



"Dulu taipan Liem Sioe Liong sering membagikan uang Rp 5000,- kepada siapa saja termasuk para pengemis. Pak Ong juga ketika sukses membangun semua fasilitas di Gunung Kawi dan sering menggelar tanggapan wayang, " kata Munaji (40) warga desa setempat yang menjadi pemandu saya.

Munjadi itu hafal benar seluk beluk areal wisata ritual Gunung Kawi. Ia lahir dan besar di tempat itu. Bahkan, ia sempat menjadi preman yang mencicipi aliran uang yang ada di Gunung Kawi dengan memungut uang keamanan dari pengusaha hotel yang ada di sekitar Gunung Kawi.

Sekarang Munaji telah meninggalkan dunia preman, ia memilih bekerja sebagai penjual bakso Malang di kota Semarang Jawa Tengah 13 tahun lamanya.

Di sekitar Gunung Kawi memang dikenal sebagai kampung para penjual bakso. Mereka tidak saja berjualan di Jawa Timur, namun merantau luar kota dari Jakarta hingga ke Kalimantan. Menurut cerita sebelum penjual bakso ini merantau untuk menjajakan dagangannya, mereka sering meminta restu di kedua makam ini dengan harapan usahanya bisa lancar di tempat yang menjadi perantauannya itu.

Meskipun lama meninggalkan kampung halamannya, namun hampir semua pedagang, yang mayoritas penduduk sekitar Gunung Kawi, mengenalnya. Pantas saja, saya dibebaskan membayar uang parkir kendaraan. Padahal jikau malam Jumat Legi tarif untuk parkir kendaraan bisa dua kali lipat.

Harga itu bisa 10 kali lipat jikau menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sedangkan untuk tarif sewa hotel, ada beberapa hotel yang mematok tarif lebih mahal dibandingkan dengan hotel berbintang kelas I di Jakarta setiap hari raya besar tertentu. Kalaupun hari biasa tarifnya antara Rp 120 ribu sampai Rp 200 ribu.

Meskipun biaya yang dikeluarkan wisatawan tidalah murah, namun tetap saja pengunjung di tempat itu tidak pernah berubah. Gunung Kawi selalu padat pengunjung.



"Sebagian masyarakat di sekitar Gunung Kawi sangat bergantung kepada Gunung Kawi. Mereka hidup berkecukupan, bahkan menjadi orang kaya dari hasil menjual barang dan jasa, " kata Munaji.

Yayasan Ngesti Gondo, lembaga yang secara resmi menjadi pewaris tanah Pasarean dan berhak menyandang jabatan "pengadeg juru kunci makam", memberikan kesempatan bagi warga desa setempat untuk berdagang di Gunung Kawi.

Bagi mereka yang tidak mempunyai modal untuk membuka usaha, kata Munaji, bisa menjadi guide bahkan preman yang meminta 'pajak keamanan' dari beberapa hotel ataupun usaha lainnya. Sebagai imbalannya, preman itu menjamin keamanan pengunjung hotel.

"Dulu saya bisa mendapatkan uang Rp 5 juta per bulan tanpa harus bekerja apapun. Saya tinggal meminta setoran ke beberapa hotel, " kata Munaji.

Tidak hanya Munaji saja yang mendapatkan cicipan aliran uang disana, Rubaidah (56), petugas dapur yang memasak keperluan selamatan juga mendapatkan rejeki besar di setiap malam Jumat legi dan hari-hari besar lainnya.

"Hari ini saya menggoreng 700 ayam dan 300 kambing. Jumlah ini naik 70 persen dibandingkan hari biasa. Ya, ini memang malam keberuntungan saya karena setelah memasak ini saya akan mendapatkan uang lelah dari pihak pengelola, " katanya yang sudah bekerja di Gunung Kawi belasan tahun lamanya.

Akulturasi
Seperti yang sudah saya katakan, saya memang beruntung bisa berkunjung ke Gunung Kawi. Sebuah berkah tersendiri ketika disana dapat melihat akulturasi budaya China dan Jawa.

Sebelum bertugas menjual dupa untuk sembayangan, Sukirman (50) merias diri dengan busana Jawa. Kemudian ia berlari melayani pengunjung yang hendak melakukan sembayangan di sebuah pendopo.

"Sebagian besar karyawan yang bekerja di sini diwajibkan memakai busana Jawa, " katanya kepada The Jakarta Post.



Sukirman yang telah bekerja hampir 20 tahun itu mengaku senang melayani semua pengunjung termasuk warga keturunan Tionghwa. Selain mendapatkan gaji dari pihak pengelola, ia banyak menerima angpao dari pengunjung sebagai tanda terima kasih telah melayani dengan baik.

Sukirman pun juga bertugas menjaga api puluhan lilin raksasa, yang harga sebijinya bisa mencapai Rp 35 juta sampai Rp 40 juta. Ia harus menjaga agar api di lilin tetap menyala karena diyakini berkaitan dengan kelangsungan bisnis sang empunya lilin. Jika api itu sampai mati, dipercaya sebagai pertanda matinya bisnisnya.

Jika lilin yang bisa bertahan sampai setahun itu hampir habis, Sukirman menghubungi pemilik lilin untuk mengganti lilin tersebut. Terkadang pemiliknya datang dan mengganti, namun tidak sedikit pula yang cukup mentransfer uang kepada penjaga untuk menggantinya.

"Disini tidak ada diskriminasi suku. Baik itu Jawa ataupun Tionghwa sama saja karena tujuannya cuma satu yaitu berdoa, " katanya.

Suasana percampuran budaya China dan Jawa memang terlihat sejak awal masuk ke lokasi wisata ritual Gunung Kawi. Di gerbang pintu masuk misalnya, desaign gerbang mirip dengan bangunan China dengan bertuliskan tulisan Jawa.

Begitu juga dengan bentuk pendapa persembanyangan, bangunan dibangun modal bangunan Jawa namun penuh dengan aksesori dari China, seperti lampion dan tulisan huruf Tionghwa.

Selain bangunan dengan modifikasi China dan Jawa, suasana di sepanjang jalan mirip dengan kawasan di Pecinan. Banyak restoran, toko barang antik dan aksesori maupun penjual kelontong yang menawarkan barang beraneka ragam khas Jawa dan China.

Ada penjual batu akik, penjual api lilin raksana dan perlengkapan ritual masyarakat Tionghwa. Di sana juga tampak keramaian suara kocokan dan bunyi gemeretak lemparan kartu ciamsi, hiruk pikuk peramal nasib jangka pendek dan suara gamelan Jawa yang mengiringi pagelaran wayang kulit.

Pemerintah daerah kabupaten Malang sendiri berkomitmen melestarikan seluruh budaya yang ada di Gunung Kawi yang menjadi ikon kota Malang. Untuk menarik wisatawan, pemerintah telah mengagendakan gebyar wisata ritual setiap perayaan 1 Muharram.

Salah satu acara atraktif yang ditampilkan adalah pawai kreasi‘ogoh-ogoh’ atau patung yang berbentuk raksasa sebagai simbul keangkaramurkaan. Patung yang dibuat selanjutnya di bakar, namun sebelumnya diarak terlebih dahulu oleh warga dari lapangn desa dan berakhir di makam Gunung Kawi.

Read More......

Mengais Rejeki di Gunung Kawi


Gunung Kawi, gunung dengan tinggi 2,86 meter dari permukaan laut yang terletak di desa Wonosari, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur tidak hanya menjadi berkah bagi peziarah yang percaya bisa mendatangkan berkah pesugihan, namun juga menjadi berkah bagi penduduk sekitar.



Malam Jumat Legi memang selalu ditunggu oleh sebagian orang. Banyak yang percaya, di setiap malam itu, Raden Mas Imam Sujono, selalu mengabulkan setiap permintaan orang yang datang kepadanya. Tidaklah heran, apabila setiap malam itu jumlah pengunjungnya selalu berlimpah. Ini merupakan berkah bagi pedagang dan masyarakat sekitar yang memanfaatkan kunjungan wisatawan itu.

Sepanjang jalan masuk menuju kompleks pemakaman Kyai Zakaria atau lebih dikenal dengan Eyang Jugo dan Raden Mas Imam Sujono di Gunung Kawi, sejumlah pedagang, baik itu pedagang bunga untuk ritual, makanan ringan, maupun perhiasan ramai menawarkan barang dagangannya.



Biasanya, pendapatan mereka naik dua kali lipat dibanding hari biasanya. Penjual bunga misalnya, dimana hari biasa hanya memperoleh keuntungan Rp 30 ribu, kini bisa meraup Rp 70 ribu.



Tidak hanya pedagang, pengemis maupun pengamen pun tidak lupa ikut mencicipi keuntungan dari para tamu.

Read More......