Korban Banjir Bengawan Solo Merayakan Tahun Baru Di Atap Masjid

Indra Harsaputra
The Jakarta Post/Bojonegoro

Korban banjir luapan sungai Bengawan Solo merayakan tahun baru diatas atap rumah dan bangunan tinggi tanpa pesta dan terompet seperti pesta tahun baru di beberapa kota di Indonesia. Dampak luapan Sungai Bengawan Solo terus meluas di beberapa daerah di Jatim.



Listrik padam, dan jaringan seluler terganggu akibat banjir. Hanya sebuah obor minyak yang menjadi teman setia Sariyem (70) dan 200 warga desa Trucuk Kecamatan Trucuk Kabupaten Bojonegoro dikala semua orang di kota besar sibuk merayakan pesta kembang api beraneka warna Tahun Baru 2008. Warga, mulai dari lansia, balita, remaja dan dewasa tinggal di lantai II dan atap kubah masjid desa agar terhindar dari dinginnya air dari sungai Bengawan Solo yang meluap sejak Jumat, 27 Desember lalu.

Tidak ada terompet maupun televisi dan dentuman musik. Suasana sepi tanpa canda tawa, hanya sesekali terdengar suara angin dan gemericik arus sungai Bengawan Solo. Sariyem tidur di lantai tanpa alas, sedangkan tikar dan alas tidur digunakan untuk balita dan anak-anak.

Jangankan berpesta, air bersih dan minum saja telah habis. Air minum dua galon berasal dari kiriman tim SAR dua hari lalu, sedangkan air bersih untuk memasak diambil dari sumber air yang letaknya 5 kilometer dari desa.


"Barusan dapat kiriman makanan yang dijatuhkan oleh Tim SAR dari atas helikopter, namun percuma, makanan itu tidak bisa dimakan karena tidak ada air bersih dan minyak tanah mulai menipis, " kata Sariyem kepada The Jakarta Post, (1/1).

"Satu-satunya makanan yang dapat dikonsumsi hanyalah sumbangan dari rekan-rekan wartawan Bojonegoro. Sebungkus nasi, 3/4 telur dadar goreng dan sambal. Saya masih lapar, " katanya.

"Anak-anak balita juga mengkonsumsi makanan yang sama cuma sambal dibuang. Untuk minum, anak-anak harus berbagi jatah orang tua mereka. Sehingga banyak orang dewasa yang sampai saat ini kehausan, " katanya.


Reno Pareno, wartawan lokal Bojonegoro bersama dengan enam wartawan yang membagikan nasi hanya terdiam menahan pilu. Sumbangan nasi bungkus itu merupakan hasil iuran beberapa wartawan. Nasi bungkus itu di distribusikan dua kali setiap hari di korban banjir di daerah terisolasi.

Badan SAR Nasional mengklaim banjir dibandingkan banjir di Bojonegoro jauh lebih parah dibandingkan dengan banjir di Surakarta maupun daerah lain di Indonesia. Hampir 90 persen dari 2.384,02 km² luas wilayah Bojonegoro tergenang banjir dengan ketinggian 1-3 meter.

Proses evakuasi dan distribusi menjadi kendala utama. Sulitnya akses transportasi dan terbatasnya alat evakuasi menjadi alasannya. Apalagi, peralatan untuk evakuasi sangatlah terbatas. Dengan alat yang ada, seperti perahu dan helikopter harus digunakan untuk penanganan bencana di 13 kabupaten Jatim yan secara bersamaan waktunya terkena musibah banjir.

Bertahan selama lima hari, bagi Sariyem dan 200 warga desa Trucuk bukanlah hal yang mudah. Lansia dan anak-anak balita yang menjadi korban banjir harus mandi, buang air besar dan kecil di genangan air luberan sungai Bengawan Solo yang kotor dan keruh.

The Jakarta Post merasakan kaki dan beberapa tubuh terasa gatal setelah lebih dari 3 jam berjalan di genangan air setinggi 1 meter. Banyak rekan-rekan wartawan lokal yang ikut membagikan makanan mengalami cidera luka ringan akibat kaki terkena potongan kayu dan material yang terhanyut bersama air.

"Bila ingin kencing dan buang air besar langsung menceburkan diri ke genangan air. Beberapa perempuan juga harus melepaskan pakaian bila mandi di air. Sabun mandi harus bergantian, demikian pula dengan handuk, " kata Sariyem.

Sedangkan untuk pakaian beberapa warga harus bergantian karena saat mengungsi di masjid tidak banyak pakaian yang dibawa. Sedangkan pakaian di rumah hilang bersama dengan derasnya arus. Pakaian itu dicuci tanpa sabun di air luapan Bengawan Solo. Cuaca yang mendung itulah membuat pakaian tidak kering bila dijemur.


Bau badan mereka tidak bersahabat, tetapi tidak ada salah satu warga pun yang mengeluhkan gatal-gatal. Beberapa warga diantaranya hanya terlihat bercak putih di kulit mereka, mirip penyakit panu. Sulit memastikan penyakit itu karena belum ada tim medis yang memeriksa kondisi korban banjir.

"Banjir kali ini merupakan yang terparah sepanjang hidup saya, " kata Sariyem.

"Tetapi, saya tetap akan tinggal di desa ini meskipun nantinya banjir surut. Kami sangat bergantung dengan sungai Bengawan Solo yang banyak memberikan penghidupan kami sebagai petani, " katanya.

Sariyem dan 200 warga desa memilih bertahan di masjid sampai banjir surut. Mereka enggan tinggal di pengungsian yang disediakan pemerintah karena jarak desa ke pengungsian kurang lebih 6 kilometer. Selain itu, mereka harus berjaga demi ternak dan harta benda mereka yang belum terhanyut arus sungai Bengawan Solo.

Tetapi, Sungai Bengawan Solo tampaknya kurang bersahabat. Luapan sungai Bengawan Solo terus merambah daerah lain, seperti Lamongan dan Gresik. Di kedua kota itu, ribuan warga telah mengungsi karena rumahnya terendam air.

Pemerintah pun juga tampak belum bersahabat, belum satupun pejabat pemerintah yang menyatakan keprihatinan kepada korban banjir yang tinggal di atas atap masjid itu.

0 comments: