Korban Banjir Mencoba Bertahan Hidup di Tengah Minimnya Alat Evakuasi



photo by Indra Harsaputra

Mbah Surip (81), korban banjir asal desa Mandaan Kecamatan Kota Kabupaten Ponorogo tampak tegar meskipun rumahnya hancur diterjang banjir setinggi 2 meter.

Indra Harsaputra
Ponorogo, Jatim

Korban bencana banjir dan tanah longsor yang melanda 24 Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan mencoba mempertahankan hidup di tengah alam yang sedang bergolak. Tidak sedikit dari mereka yang kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan keluarga mereka yang tewas akibat musibah tersebut.

Banjir dan tanah longsor itu terjadi dalam rentang waktu bersamaan antara 25 Desember sampai 26 Desember. Dari jumlah daerah yang terkena banjir dan tanah longsor itu, 12 diantaranya melanda kabupaten di Jawa Timur, seperti Ponorogo, Madiun, Ngawi dan lainnya.

Bencana itu telah menewaskan 4 orang di Kabupaten Ngawi Jatim dan 67 di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Selain korban tewas, ratusan rumah warga rusak di terjang banjir dan tanah longsor.

Pemerintah menyatakan penyebab bencana itu adalah curah hujan yang tinggi yang mengguyur beberapa wilayah di Jawa. Sedangkan Wahana Lingkungan Hidup menyatakan bencana itu terjadi karena berkurangnya lahan hijau atau kawasan hutan.

Mbah Surip (81), korban banjir asal desa Mandaan Kecamatan Kota Kabupaten Ponorogo tampak tegar dengan apa yang dialaminya. Di dalam rumahnya yang berdinding kayu itu, ia membersihkan lumpur setebal 10 centimeter akibat banjir setinggi 2 meter yang melanda Ponorogo 26 Desember lalu.

Semua itu dikerjakan sendiri tidak ada orang yang membantunya. Suaminya meninggal 20 tahun lalu, dan ia tinggal di rumah itu tanpa dikaruniai anak dan sanak keluarga. Sedangkan warga desa lainnya masih tampak sibuk mengevakuasi barang dan membersihkan lumpur yang masuk ke dalam rumah.

"Saya hanya bisa bersyukur karena selamat dari musibah itu, meskipun beberapa bagian rumah saya roboh terseret banjir, " katanya kepada The Jakarta Post, Jumat (28/12).

Sebelum banjir besar terjadi, Mbah Surip tidur di dalam rumahnya. Saat itu, malam hari hujan masih deras dan air hanya menggenangi desa setinggi lutut. Lama-kelamaan air mulai meninggi sampai ke ranjang tempat Mbah Surip tidur. Mbah Surip pun terbangun dan berteriak minta tolong.

Belum sempat menyalakan alat penerang (lilin) dan menyelamatkan barang berharga dalam rumah, air bertambah tinggi hingga lebih dari 1 meter. Mbah Surip pun berlari di tengah kegelapan dan hujan deras. Namun, ia akhirnya ia dibopong oleh salah satu warga untuk menuju rumah bertingkat agar aman dari banjir.

"Air semakin tinggi dan hampir menenggelamkan tubuh saya. Air mulai masuk ke dalam mulut dan hidung saya. Saya menutup mata dan tangan saya berpegangan erat memegang pundak warga yang menolong saya sambil berdoa,"

"Saya sempat berpikir akan meninggal hari itu. Saya mencoba melawannya, dan beruntunglah saya selamat, " katanya. Selain rumah rusak, lahan pekarangan seluas 5 m x 6 meter yang menjadi tumpuan perekonomian Mbah Surip terendam banjir. Tanaman buah srikaya dan sayur mayur yang siap panen juga ikut rusak.

Mbah Surip tidak mengira banjir besar melanda desanya karena selama hidupnya di desa itu belum pernah ada kejadian seperti apa yang baru dialaminya saat ini. Ia mengatakan bencana ini terbesar di sepanjang hidupnya.

Pemerintah Kabupaten Ponorogo pun tidak tampak siap dengan bencana ini. Sehingga evakuasi korban banjir terlambat karena ketiadaan perahu karet. Untuk mendapatkan perahu karet harus meminjam dari pihak swasta dan TNI yang berada di luar Ponorogo.

Akibat keterlambatan evakuasi dari pemerintah, desa tempat Mbah Surip tinggal itu seakan menjadi daerah yang terisolasi. Tim penyelamat enggan mengevakuasi penduduk di desa itu karena derasnya air yang mengalir ke desa itu.

Mbah Surip bersama dengan 200 penduduk di desa, baik itu anak-anak maupun lansia terpaksa tinggal di rumah warga yang letaknya lebih tinggi. Mereka bertahan hidup tanpa bantuan makan lebih dari 2 hari lamanya. Selain kesulitan bahan pangan, penduduk juga kedinginan karena pakaian mereka terhanyut dan pakaian yang dikenakan saat itu basah kuyup.

"Untuk bertahan hidup, saya bersama dengan warga lain mencari sayuran yang terbawa arus banjir. Sayuran itu pun dimasak dan dibagikan merata, " katanya.

"Saya juga mencoba melawan dingin. Tubuh saya kaku dan bibir saya sulit digerakkan. Saya berdoa agar hujan reda dan banjir segera surut, " katanya.

Saat ini, banjir di Ponorogo telah surut. Akan tetapi, banjir masih tetap mengancam daerah lain, seperti di Bojonegoro Jatim akibat meluapnya sungai Bengawan Solo. Saat ini, ratusan warga telah mengungsi di pinggir jalan raya.

Pemerintah Jatim sendiri berusaha memikirkan cara mengatasi luapan sungai Bengawan Solo.

"Problem evakuasi saat ini terletak pada kurangnya koordinasi antara instansi pemerintahan dan kurang siapnya pemerintah daearah dalam mengantisipasi bencana, " kata salah satu staff kesehatan yang bertugas di Ponorogo dan Ngawi.

Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Maritim Perak Surabaya memprediksi hujan dengan curah hujan tinggi sampai akhir Desember 2007.

cape deh !

0 comments: