Masyarakat miskin di perkotaan terpaksa mengkonsumsi air tercemar karena kesulitan mendapatkan air bersih. Penderitaan mereka itu terus berlanjut sampai tahun 2025 ketika Surabaya diprediksikan akan mengalami defisit air bersih.
Jadi orang miskin di Indonesia benar-benar ngenes !
Mahmud (40), tinggal di rumah semi permanen bantaran sungai Kali Surabaya bersama istri dan dua orang anaknya selama puluhan tahun lamanya. Ia bukanlah penduduk asli Surabaya, melainkan seorang pendatang dari desa yang tinggal tanpa identitas kependudukan resmi.
Pekerjaannya pun tidaklah tetap. Kadangkala ia bekerja sebagai pemulung sampah, bahkan sesekali ia menjadi kuli bangunan. Penghasilannya pun hanya Rp 10.000,- per harinya. Sedangkan istrinya tidak bekerja.
Di Surabaya, ia sangat bergantung pada air sungai Kali Surabaya, yang akhir-akhir ini mendapatkan perhatian dari semua pihak setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa haram mengkonsumsi Kali Surabaya lantaran telah tercemar, baik itu limbah industri, rumah tangga, maupun bangkai sisa satwa peliharaan.
Kali Surabaya merupakan sungai lintas Kota /kabupaten yang melalui wilayah 4 kota/kabupaten Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Surabaya. Sungai sepanjang kurang lebih 41 Km ini memiliki 3 anak sungai, Kali Marmoyo, Kali Tengah dan Kali Pelayaran. Kali Surabaya memiliki peran penting bagi Surabaya karena 95% bahan baku PDAM Kota Surabaya diambil dari Kali Surabaya
Berdasarkan Kajian Menteri Pekerjaan umum dan Perum Jasa Tirta pada tahun 1999 Surabaya dalam River Pollution Control Action Plan Study menunjukkan Selain limbah industri Kali Surabaya harus menampung beban pencemaran domestik di sepanjang kali Surabaya sebesar 75,5 ton/hari, dengan rincian Mojokerto 14,84 ton/hari, Sidoarjo 26,00 ton/hari, Gresik 0,93 ton/hari dan Surabaya 33,73 ton/hari.
Akibat adanya limbah itu, beberapa riset menyimpulkan bahwa Kali Surabaya sudah tercemar E-Coli. Salah satunya, penelitian Kementrian Lingkungan Hidup tentang pemantauan Terpadu Kualitas Air Sungai di Jawa Timur 2005 menunjukkan bahwa Bakteri E-Coli di dua daerah sepanjang Kali Surabaya (Karang Pilang dan Ngagel/jagir mencapai 64000 sel bakteri/100 ml , sedangkan di intake Kali Pelayaran E-Coli di air mencapai 20000 sel bakteri/100 ml).
Sedangkan peneliti salah satu NGO Lingkungan, Dhani Arnanta menunjukkan bahwa kandungan e coli di badan air Kali Surabaya sebanyak 11. milyar – 1600. milyar sel bakteri/100 ml contoh air.
Padahal sebagai bahan baku air minum jumlah E-Coli dalam air tidak boleh melebihi 1000 sel bakteri/100 ml contoh air menurut PP 82/2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air.
Tingginya tingkat pencemaran di Kali Surabaya memberikan dampak yang signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat yang tinggal di sepanjang Bantaran Kali Mas, Data RSUD Dr Soetomo menyebutkan 2-4% penduduk yang terdiri dari anak-anak (0 – 18 tahun) mengidap kanker, 59% adalah kanker leukimia, Neuroblastoma (Kanker syaraf), Limfoma (Kanker kelenjar getah Bening), dan Tumor Wilms (Kanker ginjal).
Tetapi, Mahmud tidak peduli dengan semua itu. Di sungai inilah, Mahmud tidak hanya mandi, melainkan air sungai juga dipakai untuk memasak dan minum.
"Biarpun tercemar saya tetap akan tinggal disini. Kalau saya beli air bersih seharga Rp 5 ribu per hari saya tidak mampu karena penghasilan yang minim, " katanya.
Mahmud, bukanlah satu-satunya warga miskin di Surabaya yang sulit mendapatkan air bersih karena kondisi ekonomi. Ada ratusan warga miskin lainnya yang belum mendapatkan air bersih juga masalah serupa.
Di Jawa Timur, berdasarkan data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2006, menyatakan hanya 2,6 persen dari jumlah penduduk sebesar 29,2 juta jiwa yang memperoleh air bersih dari jaringan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Dari jumlah tersebut, air bersih hanya didapatkan oleh mayoritas warga di perkotaan seperti Malang, Surabaya Sidoarjo, Mojokerto dan beberapa lainnya. Meskipun demikian, bukan berarti semua warga yang tinggal di perkotaan mendapatkan air bersih.
Sedangkan khusus di daerah yang tidak terjangkau layanan PDAM itu, seperti di Blitar, Ngawi, Gresik, Kediri, Kabupaten Malang dan beberapa daerah lainnya, masyarakat mendapatkan air bersih dari sumur galian, air sungai dan mata air.
Di daerah tertentu, misalnya di Kecamatan Kedung Kandang Kabupaten Malang, sebelum dibangun sumur air oleh Institut Tehnologi 10 November Surabaya (ITS), warga harus mengeluarkan uang untuk membeli air bersih dengan harga Rp 90 ribu sampai Rp 100 ribu per bulannya.
Warga di Kedung Kandang itu tidak mendapatkan air bersih selama bertahun-tahun karena ketidakmampuan tehnis untuk melakukan pengeboran sumur. Namun setelah dibangun instalasi air sumur oleh ITS tahun 2007, kini warga bisa mendapatkan air bersih dengan harga yang lebih murah, yaitu Rp 20 ribu per bulannya.
Demikian pula di beberapa tempat lainnya, seperti di Kecamatan Nglegok Blitar, ratusan penduduk di beberapa desa areal perkebunan tersebut juga telah menikmati air bersih dengan biaya murah setelah dibangun sarana air sumur. Sebelumnya warga di wilayah tersebut harus berjalan ratusan kilometer untuk mendapatkan air bersih.
Berdasarkan data dari PDAM, pada tahun 2005, dengan jumlah penduduk di Surabaya sebesar lebih dari 2,6 juta jiwa, rasio cakupan pelayanan air bersih mencapai 68 persen. Itu atinya sisa rasio penduduk, hingga saat ini belumlah mendapatkan pelayanan air bersih.
Ada beberapa faktor yang membuat mereka belum terlayani memperoleh air bersih PDAM. Selain karena faktor tidak sebandingnya jumlah pertambahan penduduk, baik itu karena tingginya angka kelahiran dan urbanisasi, dengan jumlah sarana dan prasarana penyaluran air minum, misalnya pipanisasi.
Ketidakmampuan warga miskin untuk membeli air bersih juga menjadi penyebab utama. Faktor lain yang juga dominan adalah kurangnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dan lingkungan yang sehat.
Kepala Unit Pengkajian Pengembangan Potensi Daerah ITS Surabaya, Agnes Tuti Rumiati mengatakan berdasarkan survei pihak yang belum terlayani air bersih itu memang mayoritas berasal dari masyarakat miskin yang tidak mampu membayar biaya pemasangan air bersih dan biaya bulanan berlangganan.
Masyarakat miskin di perkotaan, kata Agnes, harus membayar harga yang mahal untuk mendapatkan air bersih dibandingkan dengan warga lainnya.
"Dengan pendapatan yang tidak menentu, mereka memilih mengeluarkan uang Rp 5000,- per hari untuk membeli air, daripada berlangganan air bersih dari PDAM yang tarifnya Rp 100.000,- per bulan, " katanya kepada The Jakarta Post.
Untuk meringankan beban masyarakat miskin memperoleh air bersih, World Bank memberikan bantuan kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan air bersih dengan biaya murah.
Direktur Utama Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Delta Tirta Sidoarjo, Abdul Basit Lao mengatakan untuk tahap awal bantuan itu akan diberikan kepada 200 warga miskin di kelurahan Lemah Putro Sidoarjo.
"Warga miskin di tempat itu akan hanya membayar tarif untuk air bersih sebesar Rp 25 ribu atau lebih murah dibandingkan dengan tarif normal sebesar Rp 100 ribu per bulannya, " katanya.
Tarif baru PDAM bagi masyarakat miskin itu, kata Abdul, merupakan kerjasama antara World Bank dengan PDAM, dimana World Bank menyiapkan jaringan pipa dan segala infrastruktur sedangkan PDAM yang mensuplai air bersih tersebut.
Anggota Badan Pendukung Pengembangan Sistem Air Minum Departemen Pekerjaan Umum Budi Sutjahjo mengatakan untuk di daerah pedesaan, pemerintah pada tahun 2009 mentargetkan akan menambah jaringan pipanisasi air minum, sehingga 27,3 juta jiwa masyarakat di pedesaan di Indonesia dapat memperoleh air bersih. Sampai saat ini, hanya 7 juta jiwa saja masyarakat di desa yang telah menikmati air bersih.
Selain itu, pemerintah juga akan menambah jumlah pemakai di perkotaan yang saat ini mencapai 38,7 juta jiwa menjadi 45,8 juta jiwa pada tahun 2009. Sehingga secara nasional pada tahun 2009, sekitar 73,5 juta jiwa dapat memperoleh layanan air bersih.
Akan tetapi muncul tantangan baru dimana tahun 2025 mendatang, seiring dengan pesatnya laju pertambahan penduduk di Surabaya warga miskin semakin sulit mendapatkan air minum. Mereka akan kembali minum air beracun seperti yang dilakukannya saat ini.
Mengapa ?
Perum Jasa Tirta memprediksi pada tahun 2025, Surabaya akan mengalami defisit air bersih. Itu artinya, beban masyarakat miskin untuk memperoleh air bersih akan semakin mahal.
Pada tahun tersebut, dimana laju pertambahan penduduk di ketiga daerah tersebut akan bertambah menjadi lebih dari 3,04 juta jiwa dari 2,6 juta jiwa, kebutuhan air bersih mencapai 47,05 meter kubik per detik. Padahal ketersediaan air bersih hanya mencapai 39,62 meter kubik per detik.
Dengan demikian di tahun itu akan terjadi defisit air bersih sebesar 7,43 meter kubik per detik. Sampai tahun 2010, dengan ketersediaan air 39,62 meter kubik per detik, kebutuhan air bersih di Surabaya dan sekitarnya mencapai 35,41 meter kubik per detik.
Itu pun belum lagi ditambah deretan panjang kasus pencemaran sungai di Indonesia, yang menurut data dari Departemen Pekerjaan Umum, 76,2 persen dari 52 sungai di Jawa, Sumatera, Bali dan Sulawesi telah tercemar. 11 sungai diantaranya tercemar berat.
Direktur Ecoton, salah satu NGO Lingkungan Hidup, Prigi Arisandi mengatakan selain masalah penegakan hukum terhadap kasus pencemaran sungai, juga diperlukan dukungan dari semua pihak, khususnya MUI untuk memberikan fatwa haram terhadap konsumsi air sungai yang tercemar.
"Fatwa itu merupakan bentuk dukungan moral untuk mengubah kebiasaan dan menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya sungai sebagai sumber kehidupan, " katanya.
Sementara itu, pengamat sanitasi dan air bersih ITS Surabaya Eddy Soedjono mengatakan pihak PDAM perlu melakukan perbaikan manajemen, khsususnya soal pengelolaan air bersih kepada masyarakat. Dengan pengelolaan yang baik maka tingkat kebocoran pipa yang mencapai 40 persen dapat ditekan. Selain itu, masalah pencurian air juga harus menjadi perhatian.
"Seharusnya dengan kapasitas PDAM di Surabaya sebesar 7.820 liter per detik bisa mencukupi 2,6 juta penduduk di Surabaya. Bila dihitung maka rata-rata setiap penduduk bisa menikmati 255 liter per hari, " katanya.
Sebagai perbandingan dengan Amerika Serikat (AS), negara tropis lembab dengan kebiasaan belum tentu mandi dua kali saja konsumsi air bersih penduduknya sekitar 450liter per hari. Sedangkan di Surabaya, dengan konsumsi yang lebih kecil dibandingkan dengan AS harus dipakai mandi terkadang lebih dari 3 kali sehari. (INDRA HARSAPUTRA/The Jakarta Post)
Orang Miskin Minum Air Tercemar
Tuesday, April 22, 2008 | Posted by David Indra Harsaputra at 9:13 PM
Labels: Indonesian Version
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comments:
Fotonya sangat menarik. Mohon izin, Keran, media informasi air minum Surabaya, ingin memuat pada sampul depan terbitan perdana 24 Nov. 08 mendatang. Diizinkan atau tidak mohon dibalas. Terima kasih.
Post a Comment