"Manusia Belerang" dari Kawah Ijen

Indra Harsaputra
The Jakarta Post/Bondowoso

Keunikan Gunung Ijen tidaklah terlepas dari kisah para "manusia belerang", penambang tradisional belerang yang bekerja keras menggali kemudian mengangkat puluhan kilogram belerang padat demi melepaskan diri dari jerat kemiskinan.



Penambangan tradisional ini hanya terdapat di Indonesia, selain di Gunung Ijen juga di Gunung Welirang yang semuanya berada di Jawa Timur. Belerang yang diambil oleh penambang itu dihasilkan dari hasil sublimasi gas-gas belerang yang terdapat dalam asap solfatara yang bersuhu sekitar 200 derajat Celsius. Kapasitas belerang rata-rata sekitar 8 ton per hari.

Segelas ramuan jamu plus telor ayam kampung setengah matang menjadi santapan rutin Ahmad (38), salah satu dari 200 penambang belerang di Kawah Ijen Bondowoso Jawa Timur setiap paginya sebelum ia bertugas mengangkat puluhan kilogram belerang.



Jamu itu dikonsumsi guna menambah tenaga untuk berjalan kaki sambil membawa puluhan kilogram belerang dari dari bibir kawah dengan kecuraman 50 derajat sejauh 800 meter, kemudian berjalan menuruni gunung dengan kemiringan 40 derajat hingga 60 derajat sejauh 3 kilometer menuju tempat pengumpulan belerang.

Tidak semua rekan Ahmad meminum jamu tradisional tersebut. Mereka lebih menyimpan penghasilannya untuk keperluan keluarganya di rumah. Beberapa diantaranya hanya meminum jamu ketika mendapatkan penghasilan tambahan dari penjualan souvenir berbentuk satwa berbahan belerang yang dibuat penambang seharga Rp 2 ribu hingga Rp 10 ribu per buahnya.

Setelah menghabiskan jamu itu, Ahmad bergegas mengambil keranjang tempat belerang menuju lokasi penambangan belerang Kawah Ijen bersama dengan ratusan penambang lainnya. Rata-rata penambang belerang itu berumur 29 sampai 55 tahun dan berasal dari sekitar Situbondo dan Banyuwangi.


Bagi penambang yang berasal dari Banyuwangi yang berjarak 33 kilometer dari Situbondo, mereka tinggal di penampungan yang disediakan oleh koordinator kelompok penambang yang membawahi 20-30 penambang belerang. Selain menyediakan tempat penampungan, koordinator ini juga bertanggung jawab atas penjualan belerang kepada pengepul sebelum dijual di perusahaan kosmetik dan kimia di Surabaya.



Namun, koordinator kelompok ini tidak bertanggung jawab atas biaya konsumsi juga biaya atas resiko kerja dari pekerja tambang belerang. Sebagai imbal jasanya, setiap penambang akan dikenai retribusi sebesar 4 kilogram dari jumlah beban yang dibawa penambang untuk sekali pengambilan belerang.

Lokasi penambangan belerang terdapat di dasar kawah seluas 5.466 hektar yang berisi air membentuk danau berwarna hijau tosca yang berda di ketinggian 2.368 meter di atas permukaan laut. Kawah itu berdinding kaldera setinggi 300-500m, sedangkan danau Ijen memiliki derajat keasaman nol, memiliki kedalaman 200 meter. Keasamannya cukup kuat untuk melarutkan pakaian dan jari manusia.



Nicolai Hulot, host salah satu televisi Perancis dalam acara Ushuwaia Adventure pernah duduk diatas perahu karet bercerita ttg asal-usul danau tersebut.

Untuk mendapatkan belerang, penambang membuat pipa besi yang dihubungkan ke sumber belerang yang mengeluarkan gas sulfatara. Untuk menghindari pecahnya pipa, para penambang akan menyiram pipa dengan air. Dari sinilah lelehan fumarol bersuhu 600 derajat Celsius berwarna merah menyala meleleh keluar dan langsung membeku terkena udara dingin, membentuk padatan belerang berwarna kuning terang. Batu-batuan belerang inilah yang akan diambil. Dipotong dengan bantuan linggis dan kemudian langsung diangkut dalm keranjang.

Konsentrasi sulfur yang tinggi dan bau gas sulfatara yang kadang menyengat yang membuat sesak nafas dan mata perih itu tidak membuat Ahmad menyerah untuk memotong belerang padat di bibir kawah. Mereka tanpa dibekali masker ataupun kacamata. Untuk menyelamatkan diri dari resiko tersebut, penambang hanya berbekal kain dan air.



Apabila nafas terasa sesak, mereka menuangkan air ke dalam kain, kemudian kain basah tersebut digigit. Beberapa penambang memiliki masker anti debu pemberian pengunjung. Tetapi masker tersebut tidak cukup untuk menahan racun dari gas tersebut.

Tidak mudah pula bagi mereka untuk berjalan kaki sambil membwa puluhan kilogram belerang menaiki kaldera diatas ketinggian lebih dari 2000 meter. Meskipun sudah bertahun lamanya bekerja, penambang belerang butuh waktu 2 menit untuk beristirahat sebelum sampai ke atas kawah.

"Saya bisa minta rokok anda, " kata Ahmad kepada The Jakarta Post sambil mengusap keringat yang besarnya sebiji jagung sesampainya berada di atas kawah.

"Lega rasanya bisa sampai sini. Bila anda turun kebawah, saya sarankan mengikuti jalan yang dilalui penambang. Bila tidak anda akan terperosok jatuh diantara bebatuan. Jadi berhati-hatilah, " katanya.

Setelah menghabiskan rokok, Ahmad bergegas turun menuju tempat penimbangan belerang di bekas bangunan kuno peninggalan Belanda bertuliskan “Pengairan Kawah Ijen”, yang sekarang disebut sebagai Pos Bundar. Disinilah petugas memberikan secarik kertas tentang beban dan besaran upah yang dibawa penambang. Kertas tersebut akan diganti dengan uang bila sampai di pusat pengepulan belerang.



Dalam sehari, Ahmad yang berasal dari desa Taman Sari Kecamatan Licin Kabupaten Banyuwangi tersebut mampu mengangkat 180 kilogram belerang. Beban itu diangkat dalam dua kali perjalanan naik dan turun. Untuk per satu kilogramnya, Ahmad dibayar Rp 500,- dan ia pun dikenai distribusi per hari 8 kilogram yang disetorkan kepada ketua kelompok. Sehingga pendapatan Ahmad per harinya sebesar Rp 86.000,-

"Pekerjaan saya jauh lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Tetapi penghasilan yang didapatkan jauh lebih besar, " katanya Ahmad yang sebelumnya menjadi buruh tani di Banyuwangi dengan penghasilan Rp 500 ribu per bulannya.

Dari penghasilan ini, ia mampu membeli dan membangun rumah di tempat asalnya Banyuwangi.

Meskipun mendapatkan penghasilan yang cukup besar, tetapi Ahmad dan penambang lainnya tidak menyadari bahaya akan kesehatan mereka.



"Bagi saya, kesehatan nomor sepuluh Mas, yang penting dapat uang dan bisa kerja, " kata Ahmad.

Pukul 17.00 WIB, ia pun bergegas pulang ke penampungan untuk beristirahat mempersiapkan hari esok dengan belerang-belerangnya.

2 comments:

LOMBOK! said...

foto2 kereeeeeen. gak kalah ama fotografer beneran. lha mosok pean bujukan? hehehe

a! said...

tulisan dan foto2nya keren. cuma sayang, tampang yudha di foto paling bawah membuat endingnya rusak berantakan. wahaha...