SUKSES BERSAMA PENYANDANG CACAT

Indra Harsaputra
Surabaya

Penyandang cacat yang selama ini sering diabaikan kemampuannya oleh dunia usaha, justru telah menghantarkan keberhasilan Tatik Winarti (38), pengusaha handicraft di Surabaya mengekspor produknya ke mancanegara dan menerima penghargaan dari dunia internasional.

Pudjiono (22), penyandang cacat asal Kecamatan Sukolilo Pati Jawa Tengah tengah sibuk menjahit tas dari kain perca di rumah produksi Tiara Handicraft milik Tatik Winarti di Jl Sidosermo Indah II No.5, Surabaya.



Meskipun kedua kaki dan kedua tangan Pudjiono lumpuh sejak kecil, namun hasil karya pria yang lulusan Rehabilitation Center Solo dan bergabung bersama 45 penyandang cacat lainnya di Tiara Handicratf sejak tiga bulan lalu tidak kalah dengan orang normal lainnya. Padahal ketika pertama kali bekerja, ia tidak mempunyai keahlian yang memadai.

Selepas dari rehabilitasi Pudjiono mencoba melamar pekerjaan di tempat lain, namun semua lamarannya ditolak. Namun ia tidak putus asa. Setelah menghubungi Tatik via telepon, ia pergi ke Surabaya naik bus dari Solo tanpa seorang pengantar yang menemaninya.

Tatik pun memberikan training khusus cara menjahit dengan mesin jahit dan memberinya tempat tinggal di rumahnya. Tatik pun menyisihkan uang dari pendapatannya untuk diberikan kepada Pudjiono sebagai upah meskipun ia belum mampu berproduksi seperti karyawan lainnya.

Bagi usahawan cara Tatik mungkin dianggap konyol. Memperkerjakan penyandang cacat yang sulit diukur tingkat produktifitasnya justru akan menambah beban produksi.

"Saya tidak ingin agar orang yang membeli produk saya itu kasihan dengan pekerja yang semuanya penyandang cacat, " katanya kepada The Jakarta Post.

"Siapa yang bilang kalau mereka tidak produktif ? Mereka mampu asalkan diberikan kesempatan yang sama seperti orang normal lainnya. Dengan kesabaran dan ketelatenan pengusaha, mereka bisa menghasilkan karya yang luar biasa, " lanjutnya.



Apa yang dikerjakan Tatik membina Pudjiono bersama dengan puluhan penyandang cacat itu membuatnya mendapatkan penghargaan The Global Microintrepreneur Award dalam pencanangan International Year Of Microcredit 2004 itu diterimanya di Markas PBB, New York, pada 18 November 2004 lalu.

Penghargaan itu diberikan atas usahanya menjalankan Social Bussiness Entrepreneurship (SBE) yang dipandang memberikan terobosan bagi pengentasan kemiskinan bagi penyandang cacat yang selama ini sulit mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Para penyandang cacat diberikan pelatihan kemudian penyandang cacat itu diberikan kesempatan untuk berkarya di bidang usaha yang digelutinya. Penyandang cacat yang dianggap mampu berkarya sendiri secara mandiri diberikan kesempatan untuk membuka usaha sejenis di tempat lain. Sampai saat ini ia berhasil melahirkan puluhan usaha mandiri dari penyandang cacat.

"Selama berada di markas PBB saya benar-benar mendapat perlakuan istimewa. Saya duduk sejajar dengan Nane Annan, istri Sekjen PBB Koffi Annan, Putri Belgia Mathilda serta para pejabat UNDP," katanya Tatik.

SBE sendiri pernah dipopulerkan oleh Muhammad Yunus, seorang ekonom lulusan Vanderbilt University dan dosen di Chittagong University Bangladesh peraih Nobel Perdamaian tahun 2006 melalui program Grameen Bank kredit tanpa syarat kepada 2 juta penduduk miskin dengan total pinjaman sebesar lebih dari US$ 2 milyar.

Nama Tatik pun semakin melambung setelah berbagai penghargaan diraihnya antara lain Penghargaan sebagai Prestasi Terbaik bagi Wiraswasta Kecil dan Menengah oleh State Power Co 2004, Model Teladan Masyarakat Sosial 2005, Wanita Paling Terkemuka 2005 versi Plaza Semanggi, Woman of The Year ANTV Televisi Nasional 2005, penghargaan dari Presiden Republik Indonesia 2005, penghargaan Desain Tekstil oleh Menteri Perdagangan 2005, Prestasi Membela Kaum Tuna Daksa oleh Menteri Sosial dan Konfrensi TunaDaksa 2005 dan beberapa penghargaan lainnya.

Selain penghargaan, ia pun diundang oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Negara Amerika Serikat( Bureau of Educational and Cultural Affairs) untuk program International Visitor Leadership—tepatnya Women And Entrepreneurship a Project for Indonesia pada tahun 2007.

Melalui program tesebut, Titik banyak belajar sesuatu yang sebelumnya belum pernah ia dapatkan. Disana ia banyak belajar tentang bisnis manajemen, strategi marketing dan distribusi, market global dan kompetisi internasional, praktek bisnis dan aktivitas lokal AS, hukum ekonomi dan ekspor dan impor internasional, dan tanggung jawab sosial bagi pengusaha.

Kesuksesan tidaklah datang dengan tiba-tiba.

Lima belas tahun yang lalu, Tatik Winarti yang hanya lulusan SMA Yayasan Pengembangan Pendidikan Indonesia Surabaya tahun 1988 hanyalah seorang ibu rumah tangga yang menggantungkan nasibnya dari penghasilan suaminya, Yudha Dharmawan (41) yang bekerja di perusahaan perkayuan CV Sekar Jati Surabaya dengan penghasilan Rp 600 ribu per bulannya.

Saat itu kehidupannya sangat minim. Satu-satunya aset yang ia miliki hanyalah sebuah mesin jahit seharga Rp 250 ribu. Saat ini mesin pertamanya tidak bisa digunakan lagi dan ditawar pedagang barang bekas seharga Rp 10 ribu.

Rumah tinggal sekaligus rumah produksi yang ia tempati hingga saat ini masih berstatus rumah milik keluarga. Tatik juga tidak memiliki tabungan, passive income dan asuransi padahal ia harus membayar pajak, biaya sekolah ketiga anaknya (sekarang jadi empat, satu baru berusia 16 bulan), dan pengeluaran kebutuhan lainnya.

Untuk mengisi waktu luangnya, Tatik membuat kerajinan tangan, seperti vas bunga, tempat lilin, sarung bantal, penutup kursi, tempat tisu, taplak, penutup Aqua, seprai, gorden, baju, hingga tas perempuan dengan dengan bahan-bahan sisa rumah tangga, seperti kain perca atau kain sisa, botol bekas kecap, tempat selai, kaleng, dan beberapa barang sisa lainnya.

Tanpa ia sadari, banyak kerabat dan tetangga sekitar rumahnya mengagumi hasil karyanya dari barang sisa tersebut. Ia pun berinisiatif membuka usaha kerajinan tangan di rumahnya.



Suaminya tidak terlalu berharap banyak atas usahanya yang dijalankan oleh Tatik yang belum banyak "makan garam" berbisnis kerajinan tangan. Apalagi sulit bagi Tatik untuk mendapatkan modal dari pihak perbankan karena ia tidak mempunyai aset yang dapat dijaminkan kepada pihak bank.

"Saya harus mencoba optimis karena ada cara lain untuk menambah penghasilan keluarga dan membuat keluarga bahagia kalau tidak dengan berbuat hal-hal yang kecil yang bisa dikerjakan terlebih dahulu, " katanya.

Selang dua tahun kemudian, usahanya pun menuai hasil. Pembeli bahkan pemesan produknya pun melimpah. Dengan modal yang kecil, ia mendapatkan hasil yang maksimal. Tahun 1997, ia mendapatkan omset Rp 5 juta per bulan dari hasil penjualan kerajinan tangannya.

Untuk mensiasati seretnya pinjaman dari bank, omset yang didapatkannya itu dibelanjakan untuk membeli beberapa mesin jahit. Ia pun mulai merekrut tenaga kerja bukan penyandang cacat dengan sistem borongan. Karyawan hanya diberikan upah sesuai dengan jumlah barang yang diselesaikan.

Akan tetapi jalan menuju kesuksesan yang harus dilaluinya tidak selalu mulus.

Ketika Indonesia didera krisis moneter tahun 1998 yang membuat harga bahan pokok pun melambung tinggi, daya beli masyarakat menurun drastis, dan banyak usaha yang kolaps justru tidak mempengaruhi usaha Tatik. Ia pun lalu menampung korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) untuk bekerja di rumah produksinya.

Namun pertengahan tahun 1999, ia didera masalah. Sebagian besar karyawannya hengkang dari rumah produksnya karena mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di tempat lain dengan harapan mendapatkan pendapatan yang lebih baik ketimbang bertahan sebagai pengrajin kain perca.

Insyiah salah satu penyandang cacat di Surabaya bersama dengan beberapa penyandang cacat lainnya datang bertemu Tatik untuk memberikan semangat untuk meneruskan usaha handicraft. Mereka yang minta agar Tatik menurunkan ilmunya kepada penyandang cacat pun mulai bekerja bersama dengan Tatik meneruskan usahanya.

Hingga akhirnya, sampai saat ini, usaha Tatik tetap eksis dengan omset 20-25 juta per bulannya. 30 persen omsetnya itu didapatkannya dari kontribusi penjualan produknya di Malaysia, Singapura, negara-negara Arab, Brasil hingga Eropa.

"Mereka (penyandang cacat) itulah yang memberikan saya semangat untuk keluar dari krisis, " katanya.

Saat ini, Tatik memiliki 45 karyawan yang seluruhnya penyandang caat. Tatik pun juga memiliki 60 mesin jahit, 10 diantaranya merupakan sumbangan individu maupun organisasi atau perusahaan. Jumlah seluruh aset yang ia miliki bernilai Rp 150 juta, termasuk mobil pick-up dan peralatan industri lainnya.

Kehidupan Tatik pun jauh lebih baik dibandingkan lima belas tahun lalu. Ia kini telah memiliki tabungan keluarga dan jaminan asuransi kesehatan dan jiwa. Untuk mengembangkan usahanya, Tatik berniat mengurus sertifikat kepemilikan rumah yang saat ini berstatus milik keluarga ke milik pribadi dengan cara pengalihan kredit rumah. Jika proses alih kredit itu berhasil, rumah tersebut akan ia jaminkan sebagai kredit usaha.

2 comments:

Anonymous said...

ya orang cacat harus mandiri, atau mandi sendiri, alias jangan manja dan jangan sekali kali minta dikasihani.

mujiono said...

kalo aq kerja di situ diterima gx ya?